Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Kacamata Fiqh
Oleh: Ai Sadidah *)
(Disampaikan dalam Diskusi Daring bersama IPPNU Kab. Garut)
Pendahuluan
Saat kita di SMP/MTs pada pelajaran IPA, kita tentu pernah belajar tentang Sistem Reproduksi Manusia yang didalamnya tentang Sistem Reproduksi Perempuan dibahas. Sistem reproduksi ini terdiri dari organ-organ reproduksi yang memiliki fungsi khusus sebagai fungsi reproduksi pada manusia. Sistem reproduksi laki-laki berbeda dengan sistem reproduksi perempuan. Inilah yang membedakan laki-laki dan perempuan secara biologis. Perbedaan biologis ini sifatnya takdir (setiap kita tidak terlahir atas pilihan sebagai perempuan atau laki-laki, tetapi semata-mata setiap kita ditakdirkan sebagai perempuan atau laki-laki sesuai kehendak-Nya), given dari Allah, bersifat universal (di seluruh dunia definisi laki-laki dan perempuan dari sistem reproduksinya sama) dan tetap (tidak dipertukarkan).
Secara biologis, organ reproduksi laki-laki terdiri atas penis, kantung sperma, sperma. Sedangkan pada perempuan, organ reproduksi itu meliputi vagina, indung telur, rahim, horman prolaktin (fungsinya meningkatkan produksi ASI). Organ reproduksi yang dimiliki masing-masing perempuan dan laki-laki ini memiliki fungsi yang berbeda. Fungsi organ reproduksi pada laki-laki bekerja saat mimpi basah dan hubungan seksual terjadi. Sementara pada perempuan fungsi organ reproduksi ini berfungsi dalam hubungan seksual dan memberikan perempuan 5 pengalaman biologis: menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Perbedaan biologis ini ternyata berdampak pada adanya pembedaan sosial dalam masyarakat. Dalam sistem patriarki, pengalaman biologis perempuan melahirkan pengalaman sosial (yang dikenal sebagai ketidakadilan gender): stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda.
Reproduksi atau kemampuan berkembang biak adalah salah satu potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia, sebagaimana dianugerahkan pula kepada makhluk hidup yang lain. Kalau dalam bahasa sains: reproduksi itu salah satu ciri mahkluk hidup yang dialami manusia juga hewan dan tumbuhan. Dengan berkembang biak manusia dapat menjaga eksistensinya di muka bumi ini untuk melanjutkan tugas sebagai khaīifatullahi fi al-ardli. Perempuan dan laki-laki sebagai manusia memiliki status melekat sebagai hamba Allah dan kedunya mempunyai amanat melekat sebagai khaīifatullahi fi al-ardli. Karena manusia bereproduksi melalui perkawinan seksual, ketika berbicara reproduksi perempuan akan terkait dengan reproduksi laki-laki. Kan tidak akan terjadi reproduksi pada manusia kalau tidak terjadi pertemuan sel kelamin laki-laki dan perempuan. Fiqh memandang perkawinan seksual manusia yang sah dan bermartabat ini melalui perkawinan. Tetapi harus diingat bahwa perkawinan dalam Islam bukan bertujuan hanya untuk kepuasan seks atau kepuasan ekonomi, namun tujuan pernikahan dalam Islam itu untuk ketenangan jiwa. Dan, tak boleh dilupakan bahwa reproduksi dalam konteks perkawinan seksual yang disahkan melalui pernikahan ini merupakan tugas kemanusiaan yang melibatkan tiga “elemen”, yaitu Allah, suami (laki-laki), dan istri (perempuan). Keterlibatan Allah tidak hanya berarti bahwa berhasil tidaknya proses reproduksi tergantung pada kehendak mutlak Allah, tetapi juga berarti bahwa sepanjang proses reproduksi harus mengikuti ajaran dan tuntunan-Nya. Sedangkan keterlibatan suami-istri mengimplikasikan adanya hak dan kewajiban yang sama di antara keduanya dalam proses reproduksi.
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi sering disalahartikan secara sempit hanya sebagai hubungan seksual saja, sehingga banyak orang tua yang merasa bahwa topik pembicaraan ini tidak pantas untuk dibicarakan dengan remaja. Padahal, kesehatan reproduksi merupakan keadaan kesehatan fisik, mental, dan sosial yang sangat penting untuk dimengerti oleh remaja, sehingga tidak melulu membahas mengenai hubungan seksual.
WHO mendeskripsikan kesehatan reproduksi sebagai suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Sementara menurut hasil ICPD (International Conference on Population and Development) 1994 di Kairo, kesehatan reproduksi adalah keadaan sempurna fisik, mental, dan kesejahteraan sosial dan tidak semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta proses.
Dengan demikian, kesehatan reproduksi ini mencakup tentang hal-hal sebagai berikut:
1) Hak seseorang untuk dapat memperoleh kehidupan seksual yang aman dan memuaskan serta mempunyai kapasitas untuk bereproduksi;
2) Kebebasan untuk memutuskan bilamana atau seberapa banyak melakukannya;
3) Hak dari laki-laki dan perempuan untuk memperoleh informasi serta memperoleh aksebilitas yang aman, efektif, terjangkau baik secara ekonomi maupun kultural;
4) Hak untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai sehingga perempuan mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara aman.
Perempuan: Pengemban Tugas Kemanusiaan Reproduksi
Meskipun proses reproduksi umat manusia tidak bisa terlaksana tanpa keterlibatan suami (laki-laki) dan istri (perempuan) secara bersama, tetapi istrilah (perempuan) yang memikul fungsi utama, karena kenyataannya sebagian besar organ-organ reproduksi berada pada kaum hawa ini. Karena tugas yang sangat amat berat itulah, Rasulullah di banyak sabdanya mengangkat derajat ibu (istri). Kalau kemudian kenyataannya posisi ibu (istri) menjadi terpuruk di hadapan suami, itu bukan kesalahan ajaran, melainkan kesalahan memahami ajaran dan yang merasa paling punya otoritas terhadap ajaran. Akhirnya, demi kemaslahatan umat manusia perempuan sebagai pengemban utama tugas reproduksi harus mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan, jaminan kesejahtraan, dan jaminan ikut mengambil bagian dalam menentukan proses-proses reproduksi.
Kesehatan Reproduksi dalam Pandangan Fiqh
Memang benar bahwa proses reproduksi yang paling utama adalah mengandung, melahirkan, dan menyusui. Namun bila dicemati, sesungguhnya, proses reproduksi bagi perempuan yang perlu mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan adalah mulai dari menstruasi, memilih dan menentukan pasangan, hubungan seks, mengandung, melahirkan, nifas, menyusui, dan merawat anak. Jaminan ini sebenarnya telah diberikan oleh fikih Islam. Ketika perempuan sedang menstruasi dan nifas, misalnya, mereka diberi cuti reproduksi – meminjam istilah Masdar-, seperti cuti salat, cuti puasa, dan lain-lain demi menjaga kondisi kesehatan mereka, baik fisik maupun mental. Di samping itu mereka juga dilarang melakukan hubungan seks. Kalau larangan ini dilanggar, suami diharuskan membayar denda (fidyah). [as-Syarbini al-Khatib, al-Iqna`, vol. I, hlm. 87]
Memilih dan menentukan pasangan juga memiliki implikasi terhadap jaminan keselamatan dan kesehatan reproduksi, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Paling tidak persoalan ini bisa dilihat dari dua sisi, yaitu siapa pasangan yang akan menjadi pendampingnya dan menentukan usia berapa ia akan menikah. Kedua-duanya bisa berpengaruh pada kesehatan baik fisik maupun mental. Hal ini harus mendapat perhatian serius dari para orang tua agar tidak semena-mena menggunakan hak prerogatifnya sebagai wali mujbir, walaupun dalam perspektif fikih tentang wali mujbir, bahkan penggunaan wali dalam nikah sendiri, masih diperselisihkan.
Ada beberapa isu partikular yang sering dikaitkan sebagai isu kesehatan reproduksi dalam Islam. Kyai Husein Muhammad menyebut beberapa isu partikular itu: hubungan seksual, kehamilan, aborsi, khitan perempuan.
Hak menolak dan menikmati hubungan seks, misalnya, terkait langsung dengan kesehatan istri. Kewajiban perempuan menyerahkan tubuhnya kepada suami tanpa bisa menolak mengakibatkan perempuan (istri) tidak bisa mengontrol atau mengatur sendiri hak-hak reproduksinya. Ketidakberdayaan perempuan menolak hasrat seksual laki-laki (suami) dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang baik bagi kesehatan reproduksi. Sejauh ini, pandangan tentang kewajiban istri tersebut selain dilatarbelakangi oleh tradisi, kerap dilatarbelakangi pula oleh pandangan agama. Penolakan istri, oleh perspektif keagamaan tertentu, akan dicap sebagai tindakan kedurhakaan. Padahal, agama menekankan perlunya mu’asyarah bi al-Ma’ruf (saling berinteraksi secara baik) antara suami dan istri. Agama juga menekankan agar suami-istri membangun kehidupan bersama dalam situasi yang diliputi ketenangan dan cinta kasih (sakinah mawaddah wa rahmah). Cita-cita perkawinan ini sulit terwujud tanpa relasi suami-istri yang saling memahami, menghargai, dan menjaga eksistensi masing-masing. Sikap saling menghargai dan memahami antara suami-istri pada gilirannya akan berdampak positif pada kesehatan reproduksi sang istri. Kesehatan reproduksi hanya dapat terjaga manakala relasi seksual dilakukan dalam kondisi yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi kedua belah pihak.
Kesehatan reproduksi juga terkait dengan hak kehamilan. Kehamilan, menurut Alquran, merupakan proses reproduksi yang sangat berat, wahnan ‘ala wahnin (kelemahan yang berganda {Q.S. Luqman: 14}); kurhan (sesuatu yang sangat berat) {Q.S. al Ahqaf: 15}. Alquran dalam kaitan ini meminta umat Islam untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap proses kehamilan ini. Semangat tuntutan Alquran tersebut tidak hanya ditujukan kepada anak-anak untuk berlaku hormat kepada ibu, namun juga suami dan orang lain (masyarakat luas) dalam memperlakukan perempuan yang hamil dengan penuh perhatian. Karena setiap orang adalah anak dari seorang ibu. Terdapat banyak fakta tentang kematian ibu melahirkan yang disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan yang terjadi dalam proses melahirkan. Secara teknis, perhatian tersebut berhubungan dengan beban kerja yang berat dan pelayanan yang buruk kesehatan fisiknya. Perempuan yang sedang hamil sangat dianjurkan untuk tidak dibebani kerja-kerja berat dan melelahkan.
Aborsi adalah isu partikular lain yang terus menjadi problem kesehatan serius bagi perempuan. Dewasa ini, semakin nyata fakta bahwa banyak perempuan yang tidak menghendaki kehamilan dan mempunyai anak terpaksa melakukan aborsi. Memang, ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Beberapa di antaranya terjadi akibat hubungan seks tanpa nikah dan akibat perkosaan. Fakta lain menunjukkan bahwa aborsi kadang dilakukan akibat kegagalan kontrasepsi. Kasus yang disebut terakhir, menurut beberapa laporan penelitian lapangan, justru merupakan faktor penyebab yang paling banyak dibanding yang pertama (akibat hubungan seks pra nikah dan perkosaan).
Dari perspektif Islam, isu ini sudah sangat lama mendapat perhatian para ulama. Pada prinsipnya aborsi memang haram dilakukan. Namun, ada sekian hal dan situasi tertentu yang memaksa perempuan melakukan aborsi. Dalam hal inilah para ulama kemudian mendiskusikannya. Mereka sepakat bahwa aborsi dapat dilakukan pada usia janin sampai 42 hari (8 minggu). Perdebatan di antara ulama terkait aborsi adalah pada aborsi yang dilakukan pada usia di atasnya (43 hari) sampai dengan 120 hari. Perdebatan ini terjadi, karena tidak adanya teks agama yang menegaskan hukumnya secara pasti (qath’iy). Karenanya, persoalan aborsi adalah wilayah ilmiyah (ijtihadiy). Keharaman aborsi yang telah disepakati para ulama berlaku bagi usia kehamilan di atas 120 hari.
Meski demikian, para ulama berbulat sepakat menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan kapan saja sepanjang proses kehamilan hingga kelahiran dapat mengancam keselamatan nyawa ibu. Dalam pandangan para ulama, dalam kondisi darurat tersebut, nyawa ibu jauh lebih penting dibanding keselamatan nyawa janin. Kaedah yang dipergunakan adalah “Idza ta’aradh al-Mafsadatani ru’iya a’zhamuhuma dhararan bi irtikab akhaffi- hima,” (jika ada dua ancaman yang membahayakan, maka selamatkan yang memiliki dampak bahaya yang paling besar, dengan mengorbankan yang dampaknya lebih ringan). Terkait hal tersebut, para ulama sepakat pula bahwa proses aborsi darurat harus dilakukan paling tidak melalui dua syarat. Pertama, bahwa keadaan darurat tersebut harus berdasarkan analisis dan rekomendasi para ahli (dokter). Kedua, harus ditangani tenaga medis yang berpengalaman dan diakui pemerintah.
Khitan Perempuan juga merupakan masalah yang mempengaruhi kesehatan perempuan. Sejak lama para ulama telah membahas dan memperdebatkan masalah ini. Kesimpulannya, mereka berbeda pendapat: wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram. Perbedaan kesimpulan ini lagi-lagi dikarenakan bahwa Alquran maupun hadis Nabi tidak menegaskan hukumnya secara pasti (qath’iy), sebagaimana pada khitan laki-laki. Nabi saw. hanya menyebutnya sebagai “kehormatan” bagi perempuan. Kata “kehormatan” mengindikasikan bahwa khitan perempuan lebih sebagai akomodasi atas tradisi yang sedang berlangsung saat itu.
Adalah menarik bahwa pada tanggal 24 Juni 2007 lalu, mufti Mesir, Dr. Ali Jum’ah menegaskan bahwa khitan perempuan dilarang. Fatwa ini juga sebelumnya dikemukakan oleh Grand Syeikh Universitas Al Azhar, Sayid Muhammad Thanthawi. Beliau kemudian menyatakan bahwa hal ini perlu diserahkan para ahli medis untuk menentukan manfaat atau mudaratnya (bahayanya).
Penutup
Persoalan kesehatan reproduksi perempuan bukan sekedar persoalan medis. Namun juga menjadi persoalan yang terkait dengan kondisi perempuan secara sosial. Perempuan ketika mengalami masa reproduksi, kondisi biologisnya sering kesakitan. Dalam hal inilah diperlukan bantuan kebijakan yang empati terhadap kondisi tersebut. Dalam perspektif fiqh (Islam) harus diingat kembali tujuan syariat yakni kemaslahatan. Dalam memotret kesehatan reproduksi perempuan, pengalaman perempuan harus dipertimbangkan agar tujuan syariat tercapai yakni kemaslahatan.
Wallahu’alam
Daftar Pustaka
Pentingnya Remaja menjaga kesehatan reproduksi
https://skata.info/article/detail/91/pentingnya-remaja-menjaga-kesehatan-reproduksi
Kesehatan Reproduksi Remaja
https://ruangguruku.com/kesehatan-reproduksi-remaja/
Isu-isu partikular kesehatan reproduksi
https://swararahima.com/2018/09/04/isu-isu-partikular-kesehatan-reproduksi/
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Fiqh
http://mahadaly-situbondo.ac.id/kesehatan-reproduksi-dalam-perspektif-fikih/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar