Pendekatan pembelajaran matematika yang sering digunakan sebagian
besar guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan ide-ide
yang ada padanya. Pembelajaran matematika didominasi oleh guru. Guru
menjelaskan konsep matematika, memberikan contoh soal, mendemontrasikan
penyelesaian soal, memberikan rangkuman, dan memberikan soal latihan. Siswa
diposisikan sebagai penerima apa yang disampaikan oleh guru. Akibatnya siswa
menjadi pasif dalam belajar matematika. Hal ini berakibat pada rendahnya hasil
belajar yang dicapai siswa dalam pembelajaran Matematika.
Untuk itu perlu dikembangkan suatu pendekatan dalam pembelajaran
matematika yang memungkinkan siswa lebih leluasa untuk menyampaikan ide-idenya
tentang matematika (komunikasi). Salah satu pendekatan yang dapat mengakomodasi
hal tersebut adalah pendekatan problem posing. Pendekatan ini memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan (merumuskan) suatu soal matematika
yang lebih sederhana dalam rangka menyelesaikan suatu soal yang kompleks
(rumit). Dengan pendekatan semacam ini, kreatifitas siswa dapat tumbuh, sehingga diharapkan hasil
belajarnya menjadi lebih baik.
B. Pembahasan
1. Problem Posing sebagai Pendekatan Pembelajaran
Menurut Huda (2014: 276) Problem Posing Learning (PPL) merupakan
istilah yang pertama kali dikembangkan oleh ahli pendidikan asal Brasil, Paulo
Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed
(1970). PPL merujuk pada strategi pembelajaran yang menekankan adanya
pemikiran kritis yang tujuannya adalah pembebasan. Sebagai strategi
pembelajaran, PPL melibatkan tiga keterampilan dasar, yaitu menyimak (listening), berdialog (dialogue) dan tindakan (action).
Ketika PPL diterapkan di
dalam kelas, para guru harus berusaha mendekati siswa sebagai partner dialog
agar dapat menciptakan suasana pembelajaran dengan atmosfer penuh harapan,
cinta, kerendahan hati, dan saling percaya. Menurut Huda (2014:276)
pembelajaran PPL dapat dilakukan melalui enam poin rujukan, yakni:
(1) Guru dan siswa sebagai para dialoger meyakini bahwa pengetahuan
sebagai hasil dari pengalaman dan kondisi individual.
(2) Guru dan siswa mendekati dunia historis dan kultural sebagai
realitas yang dapat berubah, yang dapat dibentuk oleh representasi ideologis
manusia atas realitas.
(3) Para siswa berusaha menghubungkan antara kondisinya sendiri dengan
kondisi-kondisi yang dihasilkan melalui upayanya lam mengkontruksi realitas.
(4) Guru dan siswa mempertimbangkan cara-cara dalam membentuk realitas
melalui metode pengetahuan. Jadi, realitas yang baru nantinya bersifat
kolektif, berubah, dan dirasakan bersama-sama.
(5) Para siswa mengembangkan skill literasi (baca-tulis) untuk dapat
mengekspresikan gagasan-gagasan, sehingga dapat memberi potensi pada tindakan
pengetahuan.
(6) Para siswa mengidentifikasi mitos-mitos yang dominan dalam
wacana/diskursus dan berusaha menafsirkan ulang mitos-mitos tersebut untuk
mengakhiri siklus oppression (penindasan).
Adapun langkah-langkah model
problem posing menurut Lyn D. English (Puspita, 2013) sebagai berikut:
(a) Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat peraga
untuk memperjelas konsep sangat disarankan. (b) Guru memberikan soal
secukupnya. (c) Siswa diminta untuk mengajukan 1 atau 2 soal yang menantang,
dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat
dilakukan secara berkelompok. (d) Pada pertemuan berikutnya, secara acak guru
menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini,
guru dapat menentukan siswa secara seletif berdasarkan bobot soal yang diajukan
oleh siswa. (e) Guru memberikan tugas rumah secara individual.
Menurut Rahayuningsih
(Puspita, 2013) ada beberapa kelebihan dan kekuranga problem posing. Beberapa kelebihan Model Problem Posing: (1)
Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan
siswa. (2) Minat siswa dalam pembelajaran matematika lebih besar dan siswa
lebih mudah memahami soal karena dibuat sendiri. (3) Semua siswa terpacu untuk
terlibat secara aktif dalam membuat soal. (4) Dengan membuat soal dapat
menimbulkan dampak terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. (5)
Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru diterima
sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan lebih baik,
merangsang siswa untuk memunculkan ide yang kreatif dari yang diperolehnya dan
memperluan bahasan/ pengetahuan, siswa dapat memahami soal sebagai latihan
untuk memecahkan masalah. Sementara
itu, beberapa kekurangan Model Problem Posing: (1) Persiapan guru
lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat disampaikan. (2) Waktu yang
digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan penyelesaiannya sehingga materi
yang disampaikan lebih sedikit.
Mahmudi (2011) menjelaskan bahwa problem
posing merupakan salah satu metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran
matematika. Berbagai studi menunjukkan bahwa metode problem posing cukup
menjanjikan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan matematis tingkat tinggi,
seperti kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir kreatif matematis.
2. Problem Posing sebagai Penilaian Hasil Belajar
Menurut Mahmudi (2011)
selain sebagai metode pembelajaran, problem posing dapat pula digunakan
untuk menilai hasil belajar matematika, terutama untuk menilai
kemampuan-kemampuan matematis tingkat tinggi.
Terdapat beberapa pengertian problem posing. Menurut Ellerton (Mahmudi,
2011), problem posing adalah pembuatan soal oleh siswa yang dapat mereka pikirkan tanpa pembatasan
apapun baik terkait isi maupun konteksnya.
Pengertian lain
problem posing
diberikan oleh
Lin (Mahmudi, 2011) yaitu
sebagai pembuatan pembentukan soal berdasarakan konteks, cerita,
informasi atau gambar yang diketahui. Dalam problem
posing, soal-soal yang diajukan tidak harus selalu merupakan soal yang
baru. Menurut Silver (Mahmudi, 2011), problem posing dapat berrarti pembuatan soal berdasarkan soal yang telah diselesaikan. Dalam hal ini, untuk membuat soal dapat dilakukan dengan mereformasi soal-soal
yang sudah dikenal atau telah dikerjakan. Misalnya, untuk membuat soal dapat
dilakukan dengan mengubah informasi yang
terdapat pada
soal yang telah
dikerjakan,
seperti
mengubah bilangan, operasi,
syarat atau konteks. Dengan demikian, dapatlah didefinisikan bahwa Problem posing merupakan pengajuan soal sederhana atau perumusan ulang
suatu soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat
dipahami dalam rangka menyelesaikan soal yang rumit.
Abu-Elwan (Mahmudi, 2011) mengklasifikasikan problem posing menjadi 3 tipe, yaitu free problem posing (problem
posing
bebas),
semi-structured
problem
posing (problem
posing semi-terstruktur), dan structured problem
posing (problem posing terstruktur).
Pemilihan
tipe-tipe itu dapat didasarkan pada materi matematika,
kemampuan siswa, hasil
belajar siswa, atau tingkat berpikir siswa.
(1) Free problem posing (problem posing bebas). Menurut tipe ini
siswa diminta untuk membuat soal secara bebas berdasarkan
situasi kehidupan
sehari-hari. Tugas yang diberikan kepada
siswa dapat berbentuk: ”buatlah soal yang sederhana atau kompleks”,
buatlah soal yang kamu sukai, buatlah soal untuk kompetisi
matematika atau tes, ”buatlah soal
untuk
temanmu”, atau ”buatlah soal
sebagai
hiburan
(for fun)”.
(2) Semi-structured
problem posing
(problem posing
semi-terstruktur). Dalam hal ini siswa diberikan suatu situasi
bebas
atau terbuka dan
diminta untuk
mengeksplorasinya
dengan
menggunakan
pengetahuan, keterampilan,
atau konsep yang telah mereka
miliki. Bentuk
soal yang dapat diberikan adalah
soal
terbuka (open-ended problem) yang melibatkan aktivitas investigasi
matematika, membuat soal
berdasarkan soal yang
diberikan, membuat
soal
dengan konteks yang sama dengan soal yang diberikan, membuat soal yang terkait dengan teorema tertentu,
atau membuat soal berdasarkan gambar yang diberikan.
(3) Structured problem posing (problem posing terstruktur). Dalam hal ini siswa diminta untuk membuat soal berdasarkan
soal yang diketahui dengan mengubah data atau informasi yang diketahui. Brown dan Walter (1990) merancang formula pembuatan soal berdasarkan
soal-soal yang telah diselesaikan
dengan memvariasikan
kondisi atau tujuan dari soal yang diberikan.
Hasil belajar atau kemampuan matematis seperti apa
yang dapat diukur atau dinilai dengan problem posing?
Menurut
Mahmudi (2011) kemampuan berpikir kreatif dapat diukur dengan menggunakan problem posing. Aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif tersebut adalah kelancaran, keluwesan, keaslian, dan elaborasi. Aspek kelancaran berkaitan dengan banyaknya pertanyaan relevan. Aspek
keluwesan berkaitan dengan banyaknya ragam atau
jenis pertanyaan. Sedangkan aspek kebaruan berkaitan
dengan keunikan
atau
seberapa
jarang suatu jenis pertanyaan.
Sementara
aspek elaborasi
meliputi
kemampuan menjelaskan
secara
terperinci, runtut,
dan
koheren terhadap prosedur matematis, jawaban, atau situasi matematis tertentu.
Mahmudi
(2011) dalam penjelasan lanjutan memaparkan bahwa dalam menilai tugas problem posing, jawaban siswa yang berupa pernyataan dan
soal
non-matematika disisihkan terlebih
dahulu sebelum memfokuskan pada
soal matematika. Selanjutnya, soal-soal matematika dapat dikategorikan menjadi soal yang dapat diselesaikan dan tidak dapat
diselesaikan. Soal yang dapat
diselesaikan selanjutnya dikategorisasi lagi
menurut kompleksitasnya yang terdiri atas kompleksitas matematis maupun kompleksitas dari segi bahasa. Problem posing
dapat
pula dinilai dari aspek
kompleksitas yang
meliputi kompleksitas
hubungan antarkonsep matematis, tingkat kesulitan, dan kompleksitas susunan bahasa yang digunakan. Kompleksitas soal dapat diklasifikasikan ke dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pengkatgorian ditinjau dari aspek bernalar, melakukan
prosedur matematis, memahami konsep, atau menyelesaikan masalah. Soal
dengan tingkat kompleksitas rendah biasanya berupa soal yang mencakup aspek mengingat kembali sifat-sifat. Soal
dengan tingkat kompleksitas sedang adalah
soal yang memuat hubungan antara dua sifat, sedangkan
soal dengan tingkat kompleksitas tinggi mencakup analisis asumsi-asumsi yang dibuat dalam model matematis. Kompleksitas soal dikategorisasi
dalam tabel berikut.
Tabel 1. Kategori Kompeksitas Soal
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
Mengingat atau mengenali fakta, istilah, atau
sifat- sifat
Menghitung jumlah, selisih, hasil kali,
atau pembagian
Melakukan prosedur
matematis spesifik
Menyelesaikan soal dengan satu tahap penyelesaian
Mengidentifikasi informasi dari suatu grafik, tabel, atau gambar
|
Merepresentasikan suatu situasi secara matematis dengan lebih dari satu cara
Memberikan justifikasi
langkah-langkah
penyelesaian
masalah
Menginterpretasikan representasi visual
Menyelesaikan soal dengan beberapa tahap
Memperluas pola
Mengidentifikasi informasi dari grafik,
tabel, atau gambar dan menggunakannya untuk menyelesaikan suatu masalah
Menginterpretasikan penjelasan sederhana
|
Mendeskripsikan
berbagai
representasi
berbeda untuk menyelesaikan masalah
Melakukan prosedur matematis yang melibatkan beberapa tahap
Menggeneralisasi
pola
Menyelesaikan masalah dengan lebih dari satu cara
Menjelaskan dan menjustifikasi solusi suatu masalah
Mendeskripsikan, membandingkan,
dan mengkontraskan metode- metode penyelesaian
Menganalisis asumsi-asumsi dalam proses
solusi
Memberikan justifikasi
matematis
|
(Sumber: Mahmudi, 2011)
C. Penutup
Metode problem posing untuk
menilai hasil
belajar matematika, khususnya untuk menilai kemampuan-kemampuan
matematika
tingkat tinggi perlu dipraktikkan secara berkelanjutan. Metode ini
merupakan salah satu metode kreatif yang akan memperkaya metode-metode penilaian yang telah sering digunakan dalam
pembelajaran matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Haji, Saleh. PENDEKATAN
PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR. Tersedia:
Huda, Miftahul. 2014. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran, Isu-isu metodis dan
paradigmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahmudi, Ali. 2011. Problem Posing untuk
Menilai Hasil Belajar Matematika.
Makalah dipresentasikan
dalam Seminar Nasional Matematika
dan Pendidikan
Matematika pada tanggal 3 Desember 2011 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.
Tersedia: http://eprints.uny.ac.id/7359/1/p-3.pdf
Puspita, Dayang Yeni Riya.
2013. Pelaksanaan Pembelajaran
Matematika Menggunakan Model Problem Posing Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Kelas V. Artikel Penelitian FKIP Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Rosli, R; Goldsby; and Capraro, M.M.
2013. Assessing Students’ Mathematical
Problem-Solving and Problem-Posing Skills. Tersedia:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar