Selasa, 02 Desember 2014

PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA




A.  Pendahuluan
Pendekatan pembelajaran matematika yang sering digunakan sebagian besar guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan ide-ide yang ada padanya. Pembelajaran matematika didominasi oleh guru. Guru menjelaskan konsep matematika, memberikan contoh soal, mendemontrasikan penyelesaian soal, memberikan rangkuman, dan memberikan soal latihan. Siswa diposisikan sebagai penerima apa yang disampaikan oleh guru. Akibatnya siswa menjadi pasif dalam belajar matematika. Hal ini berakibat pada rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa dalam pembelajaran Matematika.

Untuk itu perlu dikembangkan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang memungkinkan siswa lebih leluasa untuk menyampaikan ide-idenya tentang matematika (komunikasi). Salah satu pendekatan yang dapat mengakomodasi hal tersebut adalah pendekatan problem posing. Pendekatan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan (merumuskan) suatu soal matematika yang lebih sederhana dalam rangka menyelesaikan suatu soal yang kompleks (rumit). Dengan pendekatan semacam ini, kreatifitas siswa  dapat tumbuh, sehingga diharapkan hasil belajarnya menjadi lebih baik.

B.  Pembahasan
1.    Problem Posing sebagai Pendekatan Pembelajaran
Menurut Huda (2014: 276) Problem Posing Learning (PPL) merupakan istilah yang pertama kali dikembangkan oleh ahli pendidikan asal Brasil, Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970). PPL merujuk pada strategi pembelajaran yang menekankan adanya pemikiran kritis yang tujuannya adalah pembebasan. Sebagai strategi pembelajaran, PPL melibatkan tiga keterampilan dasar, yaitu menyimak (listening), berdialog (dialogue) dan tindakan (action).
Ketika PPL diterapkan di dalam kelas, para guru harus berusaha mendekati siswa sebagai partner dialog agar dapat menciptakan suasana pembelajaran dengan atmosfer penuh harapan, cinta, kerendahan hati, dan saling percaya. Menurut Huda (2014:276) pembelajaran PPL dapat dilakukan melalui enam poin rujukan, yakni:
(1)  Guru dan siswa sebagai para dialoger meyakini bahwa pengetahuan sebagai hasil dari pengalaman dan kondisi individual.
(2)   Guru dan siswa mendekati dunia historis dan kultural sebagai realitas yang dapat berubah, yang dapat dibentuk oleh representasi ideologis manusia atas realitas.
(3)  Para siswa berusaha menghubungkan antara kondisinya sendiri dengan kondisi-kondisi yang dihasilkan melalui upayanya lam mengkontruksi realitas.
(4)   Guru dan siswa mempertimbangkan cara-cara dalam membentuk realitas melalui metode pengetahuan. Jadi, realitas yang baru nantinya bersifat kolektif, berubah, dan dirasakan bersama-sama.
(5)  Para siswa mengembangkan skill literasi (baca-tulis) untuk dapat mengekspresikan gagasan-gagasan, sehingga dapat memberi potensi pada tindakan pengetahuan.
(6) Para siswa mengidentifikasi mitos-mitos yang dominan dalam wacana/diskursus dan berusaha menafsirkan ulang mitos-mitos tersebut untuk mengakhiri siklus oppression (penindasan).
Adapun langkah-langkah model problem posing menurut Lyn D. English (Puspita, 2013) sebagai berikut: (a) Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan. (b) Guru memberikan soal secukupnya. (c) Siswa diminta untuk mengajukan 1 atau 2 soal yang menantang, dan siswa yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat dilakukan secara berkelompok. (d) Pada pertemuan berikutnya, secara acak guru menyuruh siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan siswa secara seletif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh siswa. (e) Guru memberikan tugas rumah secara individual.
Menurut Rahayuningsih (Puspita, 2013) ada beberapa kelebihan dan kekuranga problem posing. Beberapa kelebihan Model Problem Posing: (1) Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan siswa. (2) Minat siswa dalam pembelajaran matematika lebih besar dan siswa lebih mudah memahami soal karena dibuat sendiri. (3) Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal. (4) Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. (5) Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan lebih baik, merangsang siswa untuk memunculkan ide yang kreatif dari yang diperolehnya dan memperluan bahasan/ pengetahuan, siswa dapat memahami soal sebagai latihan untuk memecahkan masalah. Sementara itu, beberapa kekurangan Model Problem Posing: (1) Persiapan guru lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat disampaikan. (2) Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan penyelesaiannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.
  Mahmudi (2011) menjelaskan bahwa problem posing merupakan salah satu metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika. Berbagai studi menunjukkan bahwa metode problem posing cukup menjanjikan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan matematis tingkat tinggi, seperti kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir kreatif matematis.

2.    Problem Posing sebagai Penilaian Hasil Belajar
Menurut Mahmudi (2011) selain sebagai metode pembelajaran, problem posing dapat pula digunakan untuk menilai hasil belajar matematika, terutama untuk menilai kemampuan-kemampuan matematis tingkat tinggi.
Terdapat beberapa pengertian problem posing. Menurut Ellerton (Mahmudi, 2011), problem posing adalah pembuatan soal oleh siswa yang dapat mereka pikirkan tanpa pembatasan  apapun baik terkait isi maupun konteksnya. Pengertian  lain problem  posing  diberikan  oleh  Lin (Mahmudi, 2011) yaitu  sebagai pembuatan pembentukan soal berdasarakan konteks, cerita, informasi atau gambar yang diketahui. Dalam problem posing, soal-soal yang diajukan tidak harus selalu merupakan soal yang baru.  Menurut Silver (Mahmudi, 2011), problem posing dapat berrarti pembuatan soal berdasarkan soal yang telah diselesaikan. Dalam hal ini, untuk membuat soal dapat dilakukan dengan mereformasi soal-soal yang sudah dikenal atau telah dikerjakan. Misalnya, untuk membuat soal dapat dilakukan dengan mengubah informasi yang  terdapat  pada  soal  yang  telah  dikerjakan,  seperti  mengubah  bilangan,  operasi, syarat atau konteks. Dengan demikian, dapatlah didefinisikan bahwa Problem posing merupakan  pengajuan soal sederhana atau perumusan ulang suatu soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka menyelesaikan soal yang rumit.
Abu-Elwan (Mahmudi, 2011) mengklasifikasikan problem posing menjadi 3 tipe, yaitu free problem  posing  (problem  posing  bebas),  semi-structured  problem  posing  (problem posing semi-terstruktur),  dan structured problem posing (problem posing terstruktur). Pemilihan  tipe-tipe  itu dapat didasarkan  pada materi matematika,  kemampuan  siswa, hasil belajar siswa, atau tingkat berpikir siswa.
(1) Free problem posing (problem posing bebas). Menurut tipe ini siswa diminta untuk membuat soal secara bebas berdasarkan  situasi kehidupan  sehari-hari.  Tugas yang diberikan   kepada   siswa   dapat   berbentuk:   buatlah   soal   yang   sederhana   atau kompleks”, buatlah soal yang kamu sukai, buatlah soal untuk kompetisi matematika atau  tes,  buatlah  soal  untuk  temanmu,  atau  ”buatlah  soal  sebagai  hiburan  (for fun)”.
(2) Semi-structured  problem  posing  (problem  posing  semi-terstruktur).  Dalam hal ini siswa        diberikan    suatu    situasi    bebas    atau    terbuka    dan    diminta    untuk mengeksplorasinya  dengan  menggunakan  pengetahuan,  keterampilan,  atau  konsep yang telah mereka  miliki. Bentuk  soal yang dapat diberikan  adalah   soal terbuka (open-ended  problem) yang melibatkan  aktivitas investigasi  matematika,  membuat soal  berdasarkan  soal  yang  diberikan,  membuat  soal  dengan  konteks  yang  sama dengan soal yang diberikan, membuat soal yang terkait dengan teorema tertentu, atau membuat soal berdasarkan gambar yang diberikan.
(3) Structured problem posing (problem posing terstruktur). Dalam hal ini siswa diminta untuk membuat  soal berdasarkan  soal yang diketahui dengan mengubah  data atau informasi yang diketahui. Brown dan Walter (1990) merancang formula pembuatan soal berdasarkan  soal-soal  yang telah diselesaikan  dengan  memvariasikan  kondisi atau tujuan dari soal yang diberikan.
Hasil belajar atau kemampuan matematis seperti apa yang dapat diukur atau dinilai dengan problem  posing?
Menurut Mahmudi (2011) kemampuan  berpikir kreatif dapat diukur dengan menggunakan  problem posing. Aspek-aspek  kemampuan berpikir kreatif tersebut adalah kelancaran, keluwesan, keaslian, dan elaborasi. Aspek kelancaran berkaitan dengan banyaknya pertanyaan relevan. Aspek keluwesan berkaitan dengan banyaknya ragam atau jenis pertanyaan. Sedangkan aspek kebaruan berkaitan dengan  keunikan   atau  seberapa   jarang  suatu  jenis  pertanyaan.   Sementara   aspek elaborasi  meliputi  kemampuan  menjelaskan  secara  terperinci,  runtut,  dan  koheren terhadap prosedur matematis,  jawaban, atau situasi matematis  tertentu.
Mahmudi (2011) dalam penjelasan lanjutan memaparkan bahwa dalam menilai tugas problem posing, jawaban siswa yang berupa pernyataan dan soal non-matematika disisihkan terlebih dahulu sebelum memfokuskan pada soal matematika. Selanjutnya, soal-soal matematika dapat dikategorikan menjadi soal yang dapat diselesaikan dan tidak dapat diselesaikan. Soal yang dapat diselesaikan selanjutnya dikategorisasi lagi menurut kompleksitasnya yang terdiri atas kompleksitas matematis maupun kompleksitas dari segi bahasa. Problem   posing   dapat   pula  dinilai   dari  aspek kompleksitas yang meliputi kompleksitas hubungan antarkonsep matematis, tingkat kesulitan, dan kompleksitas susunan bahasa yang digunakan. Kompleksitas soal dapat diklasifikasikan  ke dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pengkatgorian  ditinjau dari aspek bernalar, melakukan prosedur matematis, memahami konsep, atau menyelesaikan masalah. Soal dengan tingkat kompleksitas rendah biasanya berupa soal yang mencakup aspek mengingat kembali sifat-sifat. Soal dengan tingkat kompleksitas sedang  adalah soal yang memuat  hubungan  antara dua sifat, sedangkan  soal dengan tingkat kompleksitas tinggi mencakup analisis asumsi-asumsi yang dibuat dalam model matematis. Kompleksitas soal dikategorisasi dalam tabel berikut.
Tabel 1. Kategori Kompeksitas Soal
Rendah
Sedang
Tinggi
Mengingat atau mengenali fakta, istilah, atau sifat- sifat

Menghitung  jumlah, selisih, hasil kali, atau pembagian

Melakukan prosedur matematis spesifik

Menyelesaikan soal dengan satu tahap penyelesaian

Mengidentifikasi informasi dari suatu grafik, tabel, atau gambar
Merepresentasikan suatu situasi secara matematis dengan lebih dari satu cara

Memberikan justifikasi langkah-langkah penyelesaian masalah

Menginterpretasikan representasi visual

Menyelesaikan soal dengan beberapa tahap

Memperluas pola

Mengidentifikasi informasi dari grafik, tabel, atau gambar dan menggunakannya untuk menyelesaikan suatu masalah

Menginterpretasikan penjelasan sederhana
Mendeskripsikan berbagai representasi berbeda untuk menyelesaikan masalah

Melakukan prosedur matematis yang melibatkan beberapa tahap

Menggeneralisasi pola

Menyelesaikan masalah dengan lebih dari satu cara

Menjelaskan dan menjustifikasi solusi suatu masalah

Mendeskripsikan, membandingkan, dan mengkontraskan metode- metode penyelesaian

Menganalisis asumsi-asumsi dalam proses solusi

Memberikan justifikasi matematis
(Sumber: Mahmudi, 2011)


C.  Penutup
Metode problem posing untuk menilai hasil belajar matematika, khususnya untuk menilai kemampuan-kemampuan  matematika  tingkat  tinggi perlu dipraktikkan  secara berkelanjutan. Metode ini merupakan salah satu metode kreatif yang akan memperkaya metode-metode penilaian yang telah sering digunakan dalam pembelajaran matematika.


DAFTAR PUSTAKA

Haji, Saleh. PENDEKATAN PROBLEM POSING DALAM PEMBELAJARAN  MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR. Tersedia:

Huda, Miftahul. 2014. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran, Isu-isu metodis dan paradigmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahmudi, Ali. 2011. Problem Posing untuk Menilai Hasil Belajar Matematika. Makalah dipresentasikan  dalam Seminar Nasional Matematika  dan Pendidikan  Matematika pada tanggal 3 Desember 2011 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.

Puspita, Dayang Yeni Riya. 2013. Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Menggunakan Model Problem Posing Untuk Meningkatkan  Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Kelas V. Artikel Penelitian FKIP Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Rosli, R; Goldsby; and Capraro, M.M. 2013. Assessing Students’ Mathematical Problem-Solving and Problem-Posing Skills. Tersedia:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar