Suatu hari di
awal kehidupan saya berumah tangga, suami saya mencuci pakaian kami. Pada saat
mau menjemur pakaian, ibu saya menegor suami saya dan mengatakan “loh, buat apa
nyuci? Kan ada istrimu”. Saya pun 'diingatkan' ibu bahwa mencuci
adalah pekerjaan perempuan bukan pekerjaan laki-laki. Suami saya hanya
tersenyum dan dia bilang: “nggak apa-apa Bu, toh pekerjaan istri saya
terlalu banyak.”
Kami memang sama-sama bekerja di luar rumah. Waktu sebelum menikah, kami
bersepakat bahwa kami tidak akan memberikan jenis kelamin pada pekerjaan.
Artinya tak ada jenis pekerjaan yang secara khusus dikerjakan perempuan atau
laki-laki. Tapi bagi kami pekerjaan dibagi sama saja. Jadi kalau ada yang
sedang menganggur, bisa mengerjakan sesuatu yang tidak bisa dikerjakan lainnya.
Prinsip kami bahwa setiap apa yang dikerjakan akan dibalas Allah sesuai dengan apa
yang dikerjakannya.
Adik saya
seorang ustadz (kyai muda). Kami dibesarkan dalam tradisi dan nilai yang
menempatkan laki-laki lebih istimewa dibanding perempuan. Adik saya dibesarkan dalam konstruksi sosial yang
menjadikan
ustadz yang terbebas dari pekerjaan-pekerjaan domestik--yang secara tradisional--menjadi
domain perempuan. Kelak, ia cukup
beristri dengan kriteria
yang socially contructed: istri
shaleha, yang bisa mengurusi anak dan keluarga.
Jalan hidup berbicara lain. Adik saya menikah dengan perempuan bekerja.
Memiliki anak. Ketika ipar saya yang perempuan bekerja, adik sayalah yang
mengasuh anak-anak. Tiba pada giliran adik saya memberikan pengajaran,
pengasuhan anak diberikan pada istrinya.
Suatu pagi, saya dan suami mengunjungi seorang sahabat. Seorang laki-laki pintar, super sibuk tetapi ternyata seorang penyayang keluarga yang luar biasa. Pagi-pagi teman suami saya ini berbelanja ke pasar untuk menyiapkan sarapan kami yang mendadak mengunjungi mereka. Sementara suaminya ke pasar, si istri memandikan dan mendandani dua anak perempuan mereka. Hari itu hari libur, mereka berencana mengajak anak-anaknya ke taman rekreasi. Mereka tidak mempunyai pekerja rumah tangga (PRT). Sepulang teman suami saya dari pasar, si istri sudah selesai mendandani anak-anak mereka. Kami pun sarapan bersama. Selesai sarapan, istrinya minta ijin mau mandi dan berdandan. Saya dan suami hendak pamit tapi rencana keluar rumah bersamaan. Pada saat menunggui istrinya siap, teman suami saya ini mencuci piring bekas sarapan kami.
Itulah beberapa ilustrasi peran laki-laki yang dijalankan di masyarakat kita di tengah transisi nilai yang sedang berebut pengaruh. Peran-peran laki-laki yang selama ini ditabukan dalam tradisi di sebagian besar masyarakat kita, perlahan mulai bergeser seiring dengan transformasi pengetahuan. Peran-peran yang selama ini dianggap sebagai ‘kodrat’ perempuan pada sebagian kecil pasangan mulai dikritisi dan dicari titik imbangnya. Oleh kelompok terakhir ini, peran-peran yang semula dianggap ‘hina’, 'remeh temeh', dicoba-definisikan ulang. Dalam tiga petikan kasus di atas, tanpa canggung, suami saya, adik saya dan teman saya itu melakoni pekerjaan domestik tersebut.
Mungkin kita tidak akan kesulitan saat sekarang ini menemukan banyak laki-laki yang mengerjakan pekerjaan dometik. Tetapi hal ini tidak cukup mengurangi kuatnya anggapan bahwa laki-laki akan menjadi tidak 'terhormat' kalau mengerjakan pekerjaan domestik yang seharusnya menjadi 'kodrat' perempuan. Semudah kita menemukan perempuan bekerja di luar rumah tanpa mengurangi kuatnya pelabelan bahwa perempuan hanya pencari nafkah tambahan.
Selama ini nilai yang berkembang di masyarakat sangat berpihak pada laki-laki. Di sebagian besar tradisi, kebudayaan bahkan peradaban yang diciptakan oleh agama-agama besar di dunia juga menempatkan laki-laki sebagai makhluk yang memiliki peran dan kedudukan lebih luas dibanding perempuan. Di sebagian besar daerah, laki-laki memiliki keistimewaan yang berlebih ketimbang perempuan.
Di sekeliling kehidupan kita, memang masih beredar anggapan bahwa pekerjaan rumah tangga adalah urusan istri, sementara laki-laki bertugas mencari uang. Ilustrasi di atas menggambarkan betapa masih kuatnya hak istimewa dilekatkan kepada laki-laki. Dan laki-laki bisa mengubah anggapan yang ada dengan melakukan kerja nyata memposisikan dirinya sebagai teman dalam relasi yang setara dengan istri (perempuan). Dengan kata lain, kaum lelaki sebenarnya memiliki peran yang cukup strategis untuk mempromosikan kesetaraan jender, dan tidak 'menikmati' konstruksi sosial yang mapan tentang relasi peran laki-laki dan perempuan.
Disebut 'menikmati' keadaan karena ada beberapa alasan. Pertama, ada banyak perlakuan istimewa yang dilekatkan kepada laki-laki, terutama karena mereka dianggap sebagai pencari nafkah utama. Kedua, laki-laki sebagai pelanjut keturunan. Jadi kalau ada suami-istri belum mempunyai anak dalam hubungan pernikahan, yang pertama dilabeli adalah istri. Istri mandul. Laki-laki sebagai pelanjut keturunan diberikan keistimewaan untuk mencari perempuan lain yang bisa memberikannya anak. Kalau perlu istri yang tidak memberikan anak bisa dicerai. Ketiga, laki-laki memang 'diuntungkan' oleh nilai yang dibentuk oleh agama, peradaban, dan budaya masyarakat yang lebih berpihak kepadanya.
Adanya perlakuan istimewa pada laki-laki ini tidak hanya menimbulkan apa yang disebut ketidakadilan jender, yang menempatkan perempuan sebagai manusia nomor dua. Mereka menjadi bagian masyarakat yang kurang 'diuntungkan'. Mereka harus cukup puas dengan pelabelan parameter kepatutan sosial: sebagai wanita yang taat, perempuan shaleha, ibu yang penuh kasih dan pengertian, dan seterusnya. Padahal, dengan sudut pandang yang sama--yang memberikan social previledge kepada laki-laki-- pengistimewaan laki-laki terhadap perempuan memberikan dampak yang buruk juga terhadap laki-laki. Bayangkan, dengan anggapan laki-laki kuat, terlarang bagi laki-laki untuk menangis. Dipermalukan kalau kita punya anak laki-laki menangis. Padahal menangis merupakan ekspresi jiwa seseorang (laki-laki dan perempuan) yang menurut sebuah studi justru bagus untuk perkembangan emosi. Tidak terbayangkah kita, betapa tertekannya laki-laki yang diberi keistimewaan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Begitu dihadapkan pada kenyataan, pekerjaan susah didapat, kebutuhan keluarga semakin meningkat, ancaman kehilangan pekerjaan setiap saat.
Selanjutnya, previledge laki-laki lebih jauh lagi akan menjadikannya minder apabila perempuan (istri) dia mendapat penghasilan lebih tinggi. Bagi perempuan, anggapan sebagai pencari nafkah tambahan telah merampas haknya sebagai individu yang layak mendapat apresiasi karena pekerjaannya. Seberapapun tinggi pekerjaan perempuan, di sebagian besar tradisi kita tidak pernah dianggap terhormat. Seringkali malah dilabeli sebagai perempuan yang melanggar kodrat.
Sejak kecil kita
sudah diajarkan bahwa laki-laki akan diberikan mainan yang memperlihatkan
kedinamisan, tantangan dan kekuatan, seperti mobil-mobilan dan pedang-pedangan.
Sedangkan perempuan diberikan mainan boneka, setrikaan, alat memasak, dan
lainnya. Lalu ketika mulai sekolah dasar, dalam buku bacaan pelajaran juga
digambarkan peran-peran jenis kelamin. Contohnya, “Bapak membaca koran,
sementara Ibu memasak di dapur”. Sejak dini, orang tua menanamkan nilai bahwa
laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga. Kalaupun ada perempuan yang bekerja
dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Peran-peran hasil bentukan sosial
budaya inilah yang disebut peran jender. Peran yang menghubungkan pekerjaan
dengan jenis kelamin. Apa yang “pantas” dan “tidak pantas” dilakukan sebagai
laki-laki atau perempuan.
Sebenarnya kondisi ini tidak ada salahnya. Tetapi akan menjadi bermasalah ketika peran-peran yang telah diajarkan kemudian menempatkan salah satu jenis kelamin (baik laki-laki maupun perempuan) pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena tidak semua laki-laki mampu bersikap tegas dan bisa mengatur, maka laki-laki yang lembut akan dicap banci. Sedangkan, jika perempuan lebih berani dan tegas akan dicap tomboy. Kalau penghasilan laki-laki (suami) lebih rendah dari perempuan (istri) disebut suami tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, perempuan (istri) yang berpenghasilan lebih tinggi dari laki-laki (suami) disebut istri dominan. Tentu saja hal ini tidak mengenakkan dan memberikan tekanan kepada jenis kelamin yang menerimanya.
Memperjuangkan kesetaraan bukanlah berarti mempertentangkan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi, lebih kepada membangun hubungan (relasi) yang setara. Kesempatan harus terbuka sama luasnya bagi laki-laki dan perempuan. Sama pentingnya, untuk mendapatkan pendidikan, makanan yang bergizi, kesehatan, kesempatan kerja, termasuk terlibat aktif dalam organisasi sosial politik dan proses-proses pengambilan keputusan.
Hal ini mungkin bisa terjadi jika mitos-mitos seputar citra (image) menjadi “laki-laki” dan “perempuan” dapat diperbaiki. Memang tidak ada cara lain. Sebagai laki-laki atau perempuan, kita harus menyadari bahwa kita adalah pemain dalam kondisi (hubungan) ini. Jadi, untuk bisa mengubah kondisi (relasi) yang tidak menguntungkan selama ini, maka perlu ada usaha bersama laki-laki dan perempuan untuk terlibat membangun hubungan (relasi) yang setara ini.
Kesetaraan jender sejatinya adalah menjawab kebutuhan spesifik
laki-laki dan perempuan secara berimbang. Tidak mencoba untuk mendikotomikan
peran berdasarkan pelabelan jenis kelamin. Harus ada advokasi yang lebih konstruktif
terhadap pusaran-pusaran pengaruh sosial, termasuk dalam pengajaran nilai-nilai
keagamaan.
Peran laki-laki, baik di wilayah domestik maupun sosial yang lebih luas, dalam hal mempromosikan relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan, memang sangatlah diperlukan. Selama ini ketika kita berbicara mengenai kesetaraan jender, acapkali kita terjebak bahwa perempuanlah yang harus didekati, diberdayakan dan dibuat berani 'menuntut' atas ketidakadilan jender yang dialaminya. Tetapi, di saat yang sama banyak diantara kita yang melupakan bahwa penyadaran terhadap kaum laki-laki bahwa mereka juga memiliki peran yang tak kalah strategis justru tidak terlalu kita perhatikan. Harus ada penyadaran kepada kaum lelaki bahwa mereka juga harus menghormati peran kaum perempuan secara setara.
(Tulisan ini
sudah dicetak dalam bentuk bulletin khutbah Jumat, Al-Arham yang diterbitkan
Rahima, Pusat Pelatihan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan, Jakarta,
pertengahan tahun 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar