Sabtu, 26 November 2022

Mengenal UU TPKS

Mengenal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Oleh: Ai Sadidah*)

*) Ketua PC Fatayat NU Garut masa khidmat 2020 - 2025

 

Pendahuluan


Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan yang dirilis menjelang Hari Perempuan Sedunia yang diperingati tanggal 8 Maret, disebutkan bahwa tahun 2019, tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia. Data tersebut, bila dikaitkan dalam kurun waktu 12 tahun, meningkat sebanyak 792% atau hampir 800%. Artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama ini meningkat hampir delapan kali lipat.


Sejak tahun 2008-2018 kenaikan angka kasus kekerasan seksual terlihat konsisten, bahkan akhir tahun 2019 berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2019, angkanya naik enam persen. Jumlah tersebut tentunya sangat memungkinkan terus meningkat bilamana tidak ada regulasi yang jelas dan tegas untuk menghentikannya.


Data yang disampaikan Komnas Perempuan tentu ibarat fenomena gunung es. Bisa jadi data sebenarnya lebih tinggi karena tidak sedikit korban kekerasan yang didalamnya kekerasan seksual tidak melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya.


Landasan Hukum dan Jaminan Perlindungan dari Tindak Kekerasan Seksual


Sebenarnya sudah ada landasan hukum dan jaminan perlindungan dari tindak kekerasan seksual di Indonesia. Ada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286 287, 290, 291; UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48; UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3,7); dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88.


Meskipun sudah tersedia landasan hukum dan jaminan perlindungan dari tindak kekerasan seksual, namun ternyata Undang-undang yang ada belum mengatur secara khusus tentang kekerasan seksual. Padahal amanah Konstitusi UUD 1945 adalah menjamin kehidupan warga negara yang aman dan bebas dari aneka bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, baik di ranah domestik (dalam keluarga) maupun di ruang publik. Maraknya kasus kekerasan seksual menunjukkan bahwa amanah Konstitusi ini belum dipenuhi dengan baik sehingga negara penting untuk melakukan langkah-langkah konstitusional dalam melindungi segenap warganya. Hal inilah yang mendasari munculnya usulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas). RUU Pungkas ini dikenal dengan RUU PKS. Setelah melewati perjuangan yang cukup lama di proses legislasi DPR, RUU PKS ini kemudian disahkan oleh DPR RI dengan penyebutan nama Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini sudah mulai diberlakukan sejak diundangkan pada tanggal 9 Mei 2022 melalui Lembaran Negara RI tahun 2022 Nomor 120.


Beberapa Substansi UU TPKS


1. Paradigma Hukum UU TPKS


Eddy OS Hiareij, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM; Wakil Menteri Hukum dan HAM; Ketua Tugas Percepatan UU TPKS menyebutkan salah satu keunggulan UU TPKS dari segi substansi adalah UU ini merujuk pada paradigma hukum pidana modern yang berlaku universal. UU TPKS tak lagi berorientasi pada pembalasan, tetapi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Keadilan korektif adalah untuk menghukum pelaku, keadilan restoratif lebih menekankan pada pemulihan korban, sementara keadilan rehabilitatif ditujukan baik kepada korban maupun pelaku.

 

2. Pengertian, Asas, dan Tujuan Tindak Pidana Kekerasan Seksual


Dalam Pasal 1 Ayat 1 UU TPKS dijelaskan bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.


Asas yang menjadi pengaturan TPKS disebutkan dalam Pasal 2 bahwa Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual didasarkan pada asas: (a). penghargaan atas harkat dan martabat manusia; (b). nondiskriminasi; (c). kepentingan terbaik bagi Korban; (d). keadilan; (e). kemanfaatan; dan (f). kepastian hukum. Sedangkan Pasal 3 memuatn tentang substansi dalam UU TPKS bertujuan untuk: (a). mencegah segala bentuk kekerasan seksual; (b). menangani, melindungi, dan memulihkan Korban; (c). melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; (d). mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan (e). menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.

 

3.   Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual


Beberapa bentuk pidana kekerasan seksual yang termuat dalam UU TPKS adalah: (1) Pelecehan seksual non fisik; (2) Pelecehan seksual fisik; (3) Pemaksaan kontrasepsi; (4) Pemaksaan sterilisasi; (5) Pemaksaan Perkawinan; (6) Penyiksaan seksual; (7) Eksploitasi seksual; (8) Perbudakan seksual, dan (10) Kekerasan seksual berbasis elektronik.


Selain 9 (sembilan) tindak pidana tersebut, UU TPKS juga meliputi tindak pidana di luar UU TPKS yang telah diatur dalam undang-undang, yaitu: (1) perkosaan; (2) perbuatan cabul; (3) persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi terhadap anak; (4) perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; (5) pornografi melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi kekerasan; (6) pemaksaan pelacuran; (7) Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; (8) kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; (9) Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya meruapakan TPKS; dan (10) Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

4.   Hak Korban TPKS


Korban TPKS mendapat hak atas pemulihan (Pasal 67 ayat 1 UU TPKS) berupa: Rehab medis, rehab mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan atau kompensasi, dan reintegrasi sosial. Mengenai restitusi korban, Eddy OS Hiareij pakar Hukum UGM menjelaskan bahwa UU TPKS memberikan kepastian restitusi terhadap korban. Selain menjatuhkan pidana penjara dan/atau denda terhadap pelaku, hakim juga wajib menetapkan besarnya restitusi yang harus dibayarkan pelaku terhadap korban. Besarnya restitusi adalah berdasarkan perhitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang sejak awal telah melakukan koordinasi horizontal dengan polisi dan jaksa yang menangani kasus tersebut.


Sejak ditetapkan sebagai tersangka, harta pelaku bisa disita penyidik sebagai jaminan untuk membayar restitusi. Penyitaan dilakukan dengan mempertimbangkan hak pihak ketiga yang beritikad baik. Dalam hal ini, suami/istri dan atau anak. Bilamana harta kekayaan pelaku tak mencukupi untuk menutup besarnya restitusi yang ditetapkan hakim, kekurangannya akan dikompensasi oleh negara melalui dana bantuan korban (DBK), sementara pelaku diganjar hukuman pengganti yang tak melebihi ancaman pidana pokok dari pasal yang dilanggar (Eddy OS Hiareij pakar Hukum UGM).

 

5. Hukum Acara


Selanjutnya, Eddy OS Hiareij pakar Hukum UGM, menyebutkan bahwa UU TPKS mengatur hukum acara yang sangat komprehensif dan detail, mulai dari pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang, hingga eksekusi terhadap putusan pengadilan. Perlindungan dan pemulihan terhadap korban dilakukan secara simultan dengan proses hukum.


Pada kasus yang melibatkan anak dan disabilitas, UU TPKS memberikan jaminan perlindungan bahwa atas kehendak atau persetujuan tidak menghapus tuntutan pidana dan bukan aduan. Perkara TPKS tidak dapat diberlakukan di luar proses peradilan kecuali pelaku anak sebagaimana diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengenai diversi yang dibatasi pada Tindak Pidana yang diancam TPKS di bawah 7 (tujuh) tahun ke atas dan bukan merupakan kasus yang berulang.


Pendampingan terhadap korban dalam setiap proses diatur secara rinci, termasuk pula terhadap korban yang mengalami trauma berat. Hal ini untuk mencegah reviktimisasi terhadap korban. Demikian juga pengaturan terkait pemutusan akses atau menghapus informasi dokumen elektronik yang bermuatan TPKS diatur secara jelas. Pembuktian dalam UU TPKS sangat progresif dengan memasukkan barang bukti sebagai alat bukti, termasuk kekuatan pembuktian dari saksi atau korban penyandang disabilitas yang memiliki nilai sama dengan saksi atau korban yang bukan penyandang disabilitas.


Selain disampaikan di depan sidang pengadilan dan di bawah sumpah, keterangan saksi juga memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan pembacaan berita acara pemeriksaan saksi yang telah diberikan di bawah sumpah atau janji, pemeriksaan saksi melalui perekaman elektronik dan pemeriksaan saksi secara langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual.

 

6. UPTD PPA


Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dibentuk sebagai pelaksana teknis operasional pada satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. UPTD PPA berfungsi sebagai penyelenggara pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, dan masalah lain. UPTD PPA ini sebagai one stop crisis center dalam menanggulangi TPKS.

 

Penutup


Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, atau menghadirkan kasih sayang pada manusia dan alam, Islam menolak segala bentuk kekerasan seksual. Karena kaidah dasar dari hukum syari’ah juga memastikan kemaslahatan dan keamanan bagi manusia, maka UU TPKS ini sesuai dengan semangat Syari’ah Islam. Kekerasan seksual adalah kejahatan dan kezaliman, yang mengakibatkan keburukan dan kerusakan fisik dan psikis kepada para korbanya. Karena itu, Islam memiliki prinsip dasar untuk menolak segala bentuk kerusakan, keburukan, dan kekerasan.


UU TPKS berperan agar yang menjadi pelaku akan dihukum dan direhabilitasi agar kembali menjadi pribadi yang tidak lagi sebagai pelaku kekerasan. Yang menjadi korban akan didampingi dan dipulihkan, untuk mengurangi dampak-dampak negatif dari kejahatan kekerasan tersebut. Dengan disahkan UU TPKS, diharapkan selain korban mendapatkan hak-haknya, penegakan hukum terhadap pelaku dapat berlangsung efektif dan efisien. Selain itu, diharapkan angka TPKS dapat menurun drastis dengan berbagai macam program pencegahan, termasuk sosialisasi. Keberhasilan sistem peradilan pidana pada hakikatnya tidak tergantung dari berapa banyak kasus yang diungkap, tetapi bagaimana mencegah terjadinya kejahatan.


(Tulisan akan dimuat pada Buletin Pena Fatayat Garut Edisi ke-2)

 

 

 

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar