Rabu, 28 Januari 2015

Tulisan lama, resensi buku tentang JILBAB

Judul Buku        : JILBAB Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan
Judul Asli          : Veil : Modesty, Privacy and Resistance.
Penulis             : Fedwa El Guindi
Penerjemah       : Mujiburohman
Penerbit            : Serambi Jakarta
Tahun Terbit      : Maret 2004 (cetakan ketiga)
Tebal                : 349 halaman
      Jilbab merupakan satu wacana yang hangat diperbincangkan seiring gencarnya isu gender dan feminisme. Ini terkait dengan pandangan kontroversi seputar jilbab, satu sisi dipandang sebagai simbol keterkungkungan dan domestifikasi perempuan dan pada sisi yang lain menjadi simbol identitas sebuah gerakan suatu komunitas.

Ulama Perempuan untuk Kemanusiaan


Resensi Buku “Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima
Ditulis Oleh: Ai Sadidah

Judul Buku: Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima
Tim penulis: AD. Eridani, Mawardi, AD. Kusumaningtyas, Maman Abdurrahman
Editor: Nor Ismah
Penerbit : Rahima, 2014
Jml hal : 2364 hal
 
Secara etimologi, ulama (Arab:العلماء, tunggal عالِم ʿĀliw) adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari-hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. Pengertian ini memang merupakan pengertian yang secara umum dianut oleh masyarakat kita ketika mendefinisikan ulama.

PERAN LAKI-LAKI DALAM MEMBANGUN RELASI SETARA



Suatu hari di awal kehidupan saya berumah tangga, suami saya mencuci pakaian kami. Pada saat mau menjemur pakaian, ibu saya menegor suami saya dan mengatakan “loh, buat apa nyuci? Kan ada istrimu”. Saya pun 'diingatkan' ibu bahwa mencuci adalah pekerjaan perempuan bukan pekerjaan laki-laki. Suami saya hanya tersenyum dan dia bilang: “nggak apa-apa Bu, toh pekerjaan istri saya terlalu banyak.” Kami memang sama-sama bekerja di luar rumah. Waktu sebelum menikah, kami bersepakat bahwa kami tidak akan memberikan jenis kelamin pada pekerjaan. Artinya tak ada jenis pekerjaan yang secara khusus dikerjakan perempuan atau laki-laki. Tapi bagi kami pekerjaan dibagi sama saja. Jadi kalau ada yang sedang menganggur, bisa mengerjakan sesuatu yang tidak bisa dikerjakan lainnya. Prinsip kami bahwa setiap apa yang dikerjakan akan dibalas Allah sesuai dengan apa yang dikerjakannya.