Rabu, 28 Januari 2015

Tulisan lama, resensi buku tentang JILBAB

Judul Buku        : JILBAB Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan
Judul Asli          : Veil : Modesty, Privacy and Resistance.
Penulis             : Fedwa El Guindi
Penerjemah       : Mujiburohman
Penerbit            : Serambi Jakarta
Tahun Terbit      : Maret 2004 (cetakan ketiga)
Tebal                : 349 halaman
      Jilbab merupakan satu wacana yang hangat diperbincangkan seiring gencarnya isu gender dan feminisme. Ini terkait dengan pandangan kontroversi seputar jilbab, satu sisi dipandang sebagai simbol keterkungkungan dan domestifikasi perempuan dan pada sisi yang lain menjadi simbol identitas sebuah gerakan suatu komunitas.

      Di Indonesia, kita melihat di tahun 1980-an muncul kasus-kasus siswi berjilbab di sekolah negeri harus memilih tetap bersekolah tanpa berjilbab atau terus berjilbab dengan meninggalkan sekolahnya. Beberapa instansi pemerintah, perusahaan dan sejenisnya menolak mempekerjakan perempuan berjilbab. Kondisi ini berbalik di tahun 1990-an, pelarangan berjilbab siswi sekolah negeri dicabut dan diberlakukan surat keputusan diperbolehkannya pelajar putri belajar tanpa meninggalkan jilbabnya. Di era mendekati abad 21, istilah jilbaber (pemakai jilbab) populer dan menjadi tren tersendiri. Seiring kebijakan otonomi daerah, beberapa daerah (kabupaten/kota atau provinsi) yang mengusulkan menjadi daerah penerapan syariat Islam memasukan agenda jilbabisasi dalam sebuah peraturan yang mengindikasikan daerah tersebut menerapkan syariat Islam.
      Dalam beberapa rentang waktu, di berbagai belahan dunia fenomena jilbab selalu muncul dengan berbagai ekspresi dan sarat pesan. Perdebatan pun kerap muncul soal jilbab ini. Inilah yang coba Fedwa El Guindi, seorang profesor Antropologi Mesir menelusuri jejak-jejak sejarah bagaimana jilbab hadir dan menjadi sebuah gerakan di beberapa negara Timur Islam. Tulisan Fedwa ini merupakan hasil penelitian lapangannya tentang gerakan Islam di Mesir tahun 1970-an. Penelitian ini dilakukan sebelum muncul kajian-kajian wanita, dimana saat bahan-bahan pendukung masih sangat sedikit bagi peneliti masalah gender.
      Dari penelitian yang memakan waktu lama itu, Fedwa tersadar bahwa jilbab merupakan fenomena yang kaya dan penuh makna. Jilbab berfungsi sebagai bahasa yang menyampaikan pesan-pesan sosial dan budaya, sebuah praktek yang telah hadir dalam legenda sepanjang jaman. Jilbab menjadi sebuah simbol fundamental yang bermakna ideologis bagi umat Kristen, khusus bagi Katholik merupakan bagian pandangan kewanitaan dan kesolehan. Dalam pergerakan Islam, jilbab juga memiliki posisi penting sebagai simbol identitas dan resistensi.
      Dalam konteks gerakan di beberapa negara Islam, Fedwa menampilkan jilbab sebagai sebuah gerakan yang tak terpisah dari gerakan massa saat itu. Pakaian menjadi “garis depan” pertempuran yang berkecamuk antara pembela masyarakat Islam melawan ekstrem sekuler. Inilah yang oleh Fedwa disebut sebagai jilbab dalam konteks resistensi. Kekalahan Mesir tahun 1967 dari Israel dan kemenangan Mesir tahun 1973 dari Israel adalah dua peristiwa sosial politik yang cukup berpengaruh pada gerakan Islam dan perkembangannya sampai saat ini. Kemenangan Mesir tahun 1973 atas Israel ini mematahkan mitos Israel tak terkalahkan. Sejalan kemenangan itu, di Mesir terjadi apa yang disebut “gerakan religius”. Pemuda dan mahasiswa mulai berpakaian secara berbeda, berperilaku yang lebih konservatif. Mereka menyebut pakaiannya sebagai al ziyy al-Islami (pakaian Islami). Namun hal itu tidak membatasi ruang gerak mereka di wilayah publik Mesir meski pada waktu itu pakaian Islami tersebut terhitung baru di Mesir.
      Dalam perjuangan kemerdekaan Aljazair dari Perancis, menarik apa yang ditemukan Fedwa. Mengutip Fanon, Fedwa menyebut jilbab secara dramatis berperan dalam perjuangan Aljazair untuk kemerdekaan. Dalam proses mengukuhkan kekuasaannya di Aljazair, salahsatu strategi Perancis adalah asimilasi kelas atas Aljazair dengan mem-Pranciskan perempuan Aljazair. Jilbab menjadi target strategi kolonial untuk mengontrol dan melepaskan – untuk mempengaruhi perempuan Aljazair agar melepaskan jilbabnya. Penjajah bersikap hormat pada perempuan yang tidak berjilbab. Taktik ini membuat orang-orang Aljazair menghubungkan proses pelepasan jilbab perempuan Muslim dengan strategi kolonial untuk menghinakan dan menghancurkan kebudayaan. Efeknya adalah perlawanan terhadap apa yang dilakukan oleh Perancis – memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol nasional dan kultural perjuangan perempuan Aljazair yang memberikan jilbab vitalitas baru.
      Jilbab dalam konteks resistensi juga ditemukan dari analisis Fedwa tentang hijab dalam revolusi Iran. Isu hijab di Iran menurut Fedwa harus ditempatkan dalam konteks kebijakan pra-Islam. Syah Reza Pahlevi melarang jilbab pada tahun 1936 sebagai perjuangan westernisasinya dan para polisi menahan perempuan-perempuan yang memakai jilbab dan dengan paksa melepasnya. Padahal di Iran, untuk perempuan-perempuan biasa muncul di muka umum tanpa memakai tutup kepala sama dengan telanjang. Namun kebijakan ini disambut baik perempuan maupun laki-laki kelas atas dan telah ter-Baratkan yang memandang dalam istilah liberal sebagai tahap pertama untuk memberikan hak-hak perempuan. Sejak itu isu hijab menjadi luka dalam bagi politik Iran. Tahun 1941 Pahlevi turun tahta, sejalan dengan itu kewajiban melepas jilbab dicabut. Di tahun 1970-an, hijab sebagai simbol kebajikan direpresentasikan untuk menolak kaum Pahlevis berikut undang-undang dan gerakan westernisasinya. Secara bertahap hijab menjadi jilbab. Jika Syah Reza Pahlevi “melepaskan jilbab” para perempuan sebelum revolusi Islam, Republik Islam Iran “memakaikan jilbab” bagi perempuan sesudah revolusi. Dalam konteks ini, Fedwa menilai di kawasan Timur Islam, jilbab menjadi fenomena urban/kota –untuk perempuan terdidik dan bekerja, sebuah simbol populis anti-Barat.
      Fedwa menekankan, bukunya ini bukan pembelaan atau serangan tehadap jilbab tapi lebih merupakan usaha ilmiah untuk menghadirkan pemahaman lebih baik terhadap jilbab. Fedwa menganalisis jilbab secara komprehensif dalam sebuah pendekatan analitis yang menyeluruh dan meletakkan jilbab dalam konteks berpakaian multidimensional- secara material, ruang dan keagamaan- sebagai sebuah mode komunikasi yang dibangun di atas pengetahuan antarbudaya, antaragama dan antargender. Temuan-temuan Fedwa memang mengejutkan sebagaimana ditulis pada sampul belakang buku ini : jilbab bukan pakaian perempuan belaka, bukan monopoli Islam, dan samasekali bukan berasal dari Arab. Buku ini pantas diapresiasi sebagai buku yang memotret jilbab secara lengkap dengan kajian multidisiplin : kawasan, kajian wanita, keagamaan dan antropologi. Sebagaimana ditulis di sampul depan, buku ini ditujukan bagi mereka yang memutuskan untuk berjilbab, mereka yang menolak untuk melepas jilbab, mereka yang menolak jilbab, mereka yang secara tradisional selalu berjilbab, dan mereka yang sama sekali tidak pernah berjilbab.

1 komentar:

  1. assalamualaikum mba, mba masih punya buku tersebut?

    BalasHapus