Resensi
Buku “Merintis Keulamaan untuk
Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima”
Ditulis
Oleh: Ai Sadidah
Judul Buku: “Merintis Keulamaan untuk
Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima”
Tim penulis: AD. Eridani, Mawardi, AD. Kusumaningtyas, Maman Abdurrahman
Editor: Nor Ismah
Penerbit : Rahima, 2014
Jml hal : 2364 hal
Secara
etimologi, ulama (Arab:العلماء,
tunggal عالِم ʿĀliw) adalah pemuka agama
atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam
baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari-hari yang diperlukan
baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam
bahasa Arab adalah ilmuwan
atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia,
yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. Pengertian ini memang merupakan
pengertian yang secara umum dianut oleh masyarakat kita ketika mendefinisikan
ulama.
Dalam pengertian ini, terlihat bahwa ulama ini umum dan bisa dilekatkan
pada laki-laki ataupun perempuan. Namun kenyataan di lapangan term ulama ini
lebih merujuk pada orang yang berjenis kelamin laki-laki. Asumsi ini dibangun
karena fakta menunjukkan yang diakui sebagai ulama oleh masyarakat itu hampir
semuanya laki-laki. Pandangan demikian juga terbangun terkait dengan pemahaman
teks keagamaan mainstream yang meletakkan otoritas keagamaan sebagai wilayah
istimewa laki-laki.
Diakui
atau tidak, selama ini kecenderungan masyarakat menempatkan laki-laki di dunia
publik dan perempuan di dunia domestik terjadi hampir pada setiap peradaban
manusia. Mitos semacam ini telah melahirkan kesenjangan sosial yang
berkepanjangan antara kedua jenis kelamin. Perempuan dianggap superior dalam
aktivitas rumah tangga (wilayah domestik), sementara laki-laki dianggap paling
unggul dalam wilayah publik. Padahal jika kita melakukan telaah teologis
terhadap Alqur’an sebagai rujukan utama umat Islam, kita akan menemukan bukti
bahwa Al-Qur`an banyak mengisahkan perempuan-perempuan yang aktif dan sukses di
wilayah domestik dan publik, di antaranya dalam surat An-Naml ayat 23: “Sungguh,
kudapati ada seorang perempuan yang memerintah kaumnya dan dia dianugerahi
segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar”. Ayat ini mengisyaratkan
bahwa ada seorang perempuan yang sangat cakap memegang kekuasaan, dia adalah
Ratu Bilqis.
Sementara
itu telaah historis akan membuka mata kita untuk menengok kondisi perempuan
pada masa Nabi Saw. Pada masa itu, kaum perempuan memperoleh kemerdekaan dan
suasana batin yang cerah. Rasa percaya mereka semakin kuat, sehingga di antara
mereka mencatat prestasi gemilang, terutama dalam sektor publik. Tidak
diragukan lagi bahwa terdapat perempuan yang sukses di wilayah publik pada masa
Nabi Saw. Sejarah mencatat dan mengabadikan nama besar mereka dalam
pengembangan intelektualitas. Pada masa Rasulullah, studi keagamaan merupakan
bidang terfavorit bagi kaum perempuan, sehingga banyak perempuan Muslim yang
menjadi tokoh terkemuka di kalangan para ahli haditst dan ahli hukum. Adalah
Siti Aisyah, istri Nabi saw menduduki peringkat pertama teratas. la adalah
ilmuwan terkenal pada masanya. Aisyah dipercaya memiliki ribuan haditst yang
diterima langsung dari Nabi Saw dan sampai hari ini tetap dinilai memiliki
otoritas yang tinggi dalam yurisprudensi Islam. Nama lain yang terkenal adalah
Nafisah, keturuan Ali, yang menjadi ahli hukum dan ahli teologi terkemuka.
Shuhdah yang merupakan nama termuda dalam keilmuan tradisional, terutama
hadits, yang merupakan sebuah disiplin ilmu orang Islam yang diajarkan secara
eksklusif kepada kaum laki-laki.
Penghargaan
Islam atas perempuan secara teologis dan historis ini telah membawa spirit
pembebasan perempuan dari berbagai ketertindasan. Sayangnya spirit pembebasan
perempuan ini meredup setelah wafatnya Rasulullah saw dan terus meredup pada
masa selanjutnya. Bahkan kini kita akan menjumpai pandangan dan sikap
merendahkan perempuan yang mengatas namakan Islam. Dalam kehidupan keagamaan,
memang dominasi dan hegemoni patriarki hampir tak tergoyahkan. Namun demikian, hal ini tidak menyurutkan
sebagian perempuan yang masih meyakini bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi
seluruh alam termasuk di dalamnya adalah perempuan untuk terus bergerak demi
terwujudnya peradaban yang lebih ramah terhadap perempuan, peradaban yang menciptakan
relasi yang setara di antara manusia.
Spirit
pembebasan perempuan yang berpijak secara teologis dan historis seperti di atas
inilah yang dapat kita temukan pada profil para perempuan yang terdokumentasi
pada buku “Merintis Keulamaan untuk
Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima”. Yang menarik dari buku
ini adalah pemaknaan baru atas term ulama. Rahima mempertahankan pemaknaan
ulama dalam pengertian tradisional yakni memiliki kualifikasi ulama sebagaimana
yang dikenal selama ini, namun dengan tambahan adanya kemampuan melakukan
pengorganisasian masyarakat serta kemampuan mendesakkan kepentingan perempuan
dalam kebijakan negara dan institusi-institusi keagamaan yang otoritatif di
Indonesia. Dengan pemaknaan ini, maka ulama bukanlah figur perseorangan namun
kelompok orang (komunitas ulama), mengingat perannya yang semakin kompleks di
tengah budaya patriarkhi yang masih kental.
Bagi
saya pribadi, buku ini adalah saksi sejarah atas proses perjuangan yang
dilakukan para ulama perempuan untuk membangun dunianya yang ramah bagi
kemanusiaan. Ada sekitar 40 (empat puluh) ulama perempuan didokumentasikan
kiprahnya dalam buku ini dengan beragam peran dalam komunitasnya masing-masing.
Pada umumnya, sebagian besar profil ulama perempuan ini relatif sama (berlatar
belakang priyayi pondok, atau minimal santri yang pernah mondok), menghadapi
kultur yang tidak jauh berbeda terhadap
perempuan di dalam masyarakat, sehingga dalam upaya membangun komunitas
yang ramah dan adil gender relatif sama dalam cara yang dipilih. Ini terlihat
pada isu pendidikan sebagai sentral gerakan. Mungkin karena sebagian besar
berlatar belakang pondok dan dunia pendidikan, maka upaya nyata mereka lakukan
juga di wilayah ini. Bagi mereka, pendidikan diyakini sebagai pewarisan dan internalisasi
nilai yang mumpuni sehingga melalui pendidikan ini internalisasi nilai-nilai
yang ramah terhadap kemanusiaan lebih mudah dimasukkan. Namun demikian, peran
sosial lainnya muncul semisal pembelaan terhadap perempuan-perempuan korban
KDRT dan buruh migran, dan pengambil kebijakan (anggota DPRD).
Profil
ulama perempuan dalam buku ini telah memberikan warna bagaimana kehidupan yang
ramah terhadap kemanusiaan dipandang dalam perspektif gender yang
mempertimbangkan pengalaman perempuan sebagai bagian dari upaya memahami ajaran
Islam itu sendiri. Maka, pemahaman Islam yang berakibat buruk pada perempuan
dipandang sebagai pemahaman yang harus diinterpretasi ulang, karena Islam
sebagai agama rahmat tidak mungkin memperlakukan umatnya dalam kondisi yang buruk.
Kehadiran
buku ini tentunya memperkaya wawasan kita, terutama kita bisa belajar pada apa
yang sudah dilakukan para ulama perempuan ini di komunitas masing-masing. Dan
yang tidak kalah penting, buku ini adalah narasi sejarah perjuangan perempuan
Muslim di negeri bernama Indonesia.
Wallahu’alam
(Tulisan
dimuat dalam Swara Rahima No 47 Th XIV Desember 2014 yang diterbitkan oleh Rahima,
Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-Hak Perempuan, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar