Judul Buku :
JILBAB Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan
Judul Asli : Veil
: Modesty, Privacy and Resistance.
Penulis : Fedwa El Guindi
Penerjemah :
Mujiburohman
Penerbit : Serambi Jakarta
Tahun Terbit : Maret
2004 (cetakan ketiga)
Tebal : 349 halaman
Jilbab
merupakan satu wacana yang hangat diperbincangkan seiring gencarnya isu gender
dan feminisme. Ini terkait dengan pandangan kontroversi seputar jilbab, satu
sisi dipandang sebagai simbol keterkungkungan dan domestifikasi perempuan dan
pada sisi yang lain menjadi simbol identitas sebuah gerakan suatu komunitas.
Di
Indonesia, kita melihat di tahun 1980-an muncul kasus-kasus siswi berjilbab di
sekolah negeri harus memilih tetap bersekolah tanpa berjilbab atau terus berjilbab
dengan meninggalkan sekolahnya. Beberapa instansi pemerintah, perusahaan dan
sejenisnya menolak mempekerjakan perempuan berjilbab. Kondisi ini berbalik di
tahun 1990-an, pelarangan berjilbab siswi sekolah negeri dicabut dan
diberlakukan surat
keputusan diperbolehkannya pelajar putri belajar tanpa meninggalkan jilbabnya.
Di era mendekati abad 21, istilah jilbaber (pemakai jilbab) populer dan menjadi
tren tersendiri. Seiring kebijakan otonomi daerah, beberapa daerah
(kabupaten/kota atau provinsi) yang mengusulkan menjadi daerah penerapan
syariat Islam memasukan agenda jilbabisasi dalam sebuah peraturan yang
mengindikasikan daerah tersebut menerapkan syariat Islam.
Dalam
beberapa rentang waktu, di berbagai belahan dunia fenomena jilbab selalu muncul
dengan berbagai ekspresi dan sarat pesan. Perdebatan pun kerap muncul soal
jilbab ini. Inilah yang coba Fedwa El Guindi, seorang profesor Antropologi
Mesir menelusuri jejak-jejak sejarah bagaimana jilbab hadir dan menjadi sebuah
gerakan di beberapa negara Timur Islam. Tulisan Fedwa ini merupakan hasil
penelitian lapangannya tentang gerakan Islam di Mesir tahun 1970-an. Penelitian
ini dilakukan sebelum muncul kajian-kajian wanita, dimana saat bahan-bahan
pendukung masih sangat sedikit bagi peneliti masalah gender.
Dari
penelitian yang memakan waktu lama itu, Fedwa tersadar bahwa jilbab merupakan
fenomena yang kaya dan penuh makna. Jilbab berfungsi sebagai bahasa yang
menyampaikan pesan-pesan sosial dan budaya, sebuah praktek yang telah hadir
dalam legenda sepanjang jaman. Jilbab menjadi sebuah simbol fundamental yang
bermakna ideologis bagi umat Kristen, khusus bagi Katholik merupakan bagian
pandangan kewanitaan dan kesolehan. Dalam pergerakan Islam, jilbab juga
memiliki posisi penting sebagai simbol identitas dan resistensi.
Dalam
konteks gerakan di beberapa negara Islam, Fedwa menampilkan jilbab sebagai
sebuah gerakan yang tak terpisah dari gerakan massa saat itu. Pakaian menjadi “garis depan”
pertempuran yang berkecamuk antara pembela masyarakat Islam melawan ekstrem
sekuler. Inilah yang oleh Fedwa disebut sebagai jilbab dalam konteks
resistensi. Kekalahan Mesir tahun 1967 dari Israel dan kemenangan Mesir tahun
1973 dari Israel adalah dua peristiwa sosial politik yang cukup berpengaruh
pada gerakan Islam dan perkembangannya sampai saat ini. Kemenangan Mesir tahun
1973 atas Israel ini
mematahkan mitos Israel
tak terkalahkan. Sejalan kemenangan itu, di Mesir terjadi apa yang disebut
“gerakan religius”. Pemuda dan mahasiswa mulai berpakaian secara berbeda,
berperilaku yang lebih konservatif. Mereka menyebut pakaiannya sebagai al
ziyy al-Islami (pakaian Islami). Namun hal itu tidak membatasi ruang gerak
mereka di wilayah publik Mesir meski pada waktu itu pakaian Islami tersebut
terhitung baru di Mesir.
Dalam
perjuangan kemerdekaan Aljazair dari Perancis, menarik apa yang ditemukan
Fedwa. Mengutip Fanon, Fedwa menyebut jilbab secara dramatis berperan dalam
perjuangan Aljazair untuk kemerdekaan. Dalam proses mengukuhkan kekuasaannya di
Aljazair, salahsatu strategi Perancis adalah asimilasi kelas atas Aljazair
dengan mem-Pranciskan perempuan Aljazair. Jilbab menjadi target strategi
kolonial untuk mengontrol dan melepaskan – untuk mempengaruhi perempuan
Aljazair agar melepaskan jilbabnya. Penjajah bersikap hormat pada perempuan
yang tidak berjilbab. Taktik ini membuat orang-orang Aljazair menghubungkan
proses pelepasan jilbab perempuan Muslim dengan strategi kolonial untuk
menghinakan dan menghancurkan kebudayaan. Efeknya adalah perlawanan terhadap apa
yang dilakukan oleh Perancis – memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol
nasional dan kultural perjuangan perempuan Aljazair yang memberikan jilbab
vitalitas baru.
Jilbab
dalam konteks resistensi juga ditemukan dari analisis Fedwa tentang hijab dalam
revolusi Iran.
Isu hijab di Iran
menurut Fedwa harus ditempatkan dalam konteks kebijakan pra-Islam. Syah Reza
Pahlevi melarang jilbab pada tahun 1936 sebagai perjuangan westernisasinya dan
para polisi menahan perempuan-perempuan yang memakai jilbab dan dengan paksa
melepasnya. Padahal di Iran, untuk perempuan-perempuan biasa muncul di muka
umum tanpa memakai tutup kepala sama dengan telanjang. Namun kebijakan ini
disambut baik perempuan maupun laki-laki kelas atas dan telah ter-Baratkan yang
memandang dalam istilah liberal sebagai tahap pertama untuk memberikan hak-hak
perempuan. Sejak itu isu hijab menjadi luka dalam bagi politik Iran. Tahun
1941 Pahlevi turun tahta, sejalan dengan itu kewajiban melepas jilbab dicabut.
Di tahun 1970-an, hijab sebagai simbol kebajikan direpresentasikan untuk
menolak kaum Pahlevis berikut undang-undang dan gerakan westernisasinya. Secara
bertahap hijab menjadi jilbab. Jika Syah Reza Pahlevi “melepaskan jilbab” para
perempuan sebelum revolusi Islam, Republik Islam Iran “memakaikan jilbab” bagi
perempuan sesudah revolusi. Dalam konteks ini, Fedwa menilai di kawasan Timur
Islam, jilbab menjadi fenomena urban/kota
–untuk perempuan terdidik dan bekerja, sebuah simbol populis anti-Barat.
Fedwa
menekankan, bukunya ini bukan pembelaan atau serangan tehadap jilbab tapi lebih
merupakan usaha ilmiah untuk menghadirkan pemahaman lebih baik terhadap jilbab.
Fedwa menganalisis jilbab secara komprehensif dalam sebuah pendekatan analitis
yang menyeluruh dan meletakkan jilbab dalam konteks berpakaian
multidimensional- secara material, ruang dan keagamaan- sebagai sebuah mode
komunikasi yang dibangun di atas pengetahuan antarbudaya, antaragama dan
antargender. Temuan-temuan Fedwa memang mengejutkan sebagaimana ditulis pada
sampul belakang buku ini : jilbab bukan pakaian perempuan belaka, bukan
monopoli Islam, dan samasekali bukan berasal dari Arab. Buku ini pantas
diapresiasi sebagai buku yang memotret jilbab secara lengkap dengan kajian
multidisiplin : kawasan, kajian wanita, keagamaan dan antropologi. Sebagaimana
ditulis di sampul depan, buku ini ditujukan bagi mereka yang memutuskan untuk
berjilbab, mereka yang menolak untuk melepas jilbab, mereka yang menolak
jilbab, mereka yang secara tradisional selalu berjilbab, dan mereka yang sama
sekali tidak pernah berjilbab.
assalamualaikum mba, mba masih punya buku tersebut?
BalasHapus