Sabtu, 26 November 2022

Mengenal UU TPKS

Mengenal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Oleh: Ai Sadidah*)

*) Ketua PC Fatayat NU Garut masa khidmat 2020 - 2025

 

Pendahuluan


Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan yang dirilis menjelang Hari Perempuan Sedunia yang diperingati tanggal 8 Maret, disebutkan bahwa tahun 2019, tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia. Data tersebut, bila dikaitkan dalam kurun waktu 12 tahun, meningkat sebanyak 792% atau hampir 800%. Artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama ini meningkat hampir delapan kali lipat.


Sejak tahun 2008-2018 kenaikan angka kasus kekerasan seksual terlihat konsisten, bahkan akhir tahun 2019 berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2019, angkanya naik enam persen. Jumlah tersebut tentunya sangat memungkinkan terus meningkat bilamana tidak ada regulasi yang jelas dan tegas untuk menghentikannya.


Data yang disampaikan Komnas Perempuan tentu ibarat fenomena gunung es. Bisa jadi data sebenarnya lebih tinggi karena tidak sedikit korban kekerasan yang didalamnya kekerasan seksual tidak melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya.


Landasan Hukum dan Jaminan Perlindungan dari Tindak Kekerasan Seksual


Sebenarnya sudah ada landasan hukum dan jaminan perlindungan dari tindak kekerasan seksual di Indonesia. Ada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286 287, 290, 291; UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48; UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3,7); dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88.


Meskipun sudah tersedia landasan hukum dan jaminan perlindungan dari tindak kekerasan seksual, namun ternyata Undang-undang yang ada belum mengatur secara khusus tentang kekerasan seksual. Padahal amanah Konstitusi UUD 1945 adalah menjamin kehidupan warga negara yang aman dan bebas dari aneka bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, baik di ranah domestik (dalam keluarga) maupun di ruang publik. Maraknya kasus kekerasan seksual menunjukkan bahwa amanah Konstitusi ini belum dipenuhi dengan baik sehingga negara penting untuk melakukan langkah-langkah konstitusional dalam melindungi segenap warganya. Hal inilah yang mendasari munculnya usulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas). RUU Pungkas ini dikenal dengan RUU PKS. Setelah melewati perjuangan yang cukup lama di proses legislasi DPR, RUU PKS ini kemudian disahkan oleh DPR RI dengan penyebutan nama Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini sudah mulai diberlakukan sejak diundangkan pada tanggal 9 Mei 2022 melalui Lembaran Negara RI tahun 2022 Nomor 120.


Beberapa Substansi UU TPKS


1. Paradigma Hukum UU TPKS


Eddy OS Hiareij, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM; Wakil Menteri Hukum dan HAM; Ketua Tugas Percepatan UU TPKS menyebutkan salah satu keunggulan UU TPKS dari segi substansi adalah UU ini merujuk pada paradigma hukum pidana modern yang berlaku universal. UU TPKS tak lagi berorientasi pada pembalasan, tetapi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Keadilan korektif adalah untuk menghukum pelaku, keadilan restoratif lebih menekankan pada pemulihan korban, sementara keadilan rehabilitatif ditujukan baik kepada korban maupun pelaku.

 

2. Pengertian, Asas, dan Tujuan Tindak Pidana Kekerasan Seksual


Dalam Pasal 1 Ayat 1 UU TPKS dijelaskan bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.


Asas yang menjadi pengaturan TPKS disebutkan dalam Pasal 2 bahwa Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual didasarkan pada asas: (a). penghargaan atas harkat dan martabat manusia; (b). nondiskriminasi; (c). kepentingan terbaik bagi Korban; (d). keadilan; (e). kemanfaatan; dan (f). kepastian hukum. Sedangkan Pasal 3 memuatn tentang substansi dalam UU TPKS bertujuan untuk: (a). mencegah segala bentuk kekerasan seksual; (b). menangani, melindungi, dan memulihkan Korban; (c). melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; (d). mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan (e). menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.

 

3.   Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual


Beberapa bentuk pidana kekerasan seksual yang termuat dalam UU TPKS adalah: (1) Pelecehan seksual non fisik; (2) Pelecehan seksual fisik; (3) Pemaksaan kontrasepsi; (4) Pemaksaan sterilisasi; (5) Pemaksaan Perkawinan; (6) Penyiksaan seksual; (7) Eksploitasi seksual; (8) Perbudakan seksual, dan (10) Kekerasan seksual berbasis elektronik.


Selain 9 (sembilan) tindak pidana tersebut, UU TPKS juga meliputi tindak pidana di luar UU TPKS yang telah diatur dalam undang-undang, yaitu: (1) perkosaan; (2) perbuatan cabul; (3) persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi terhadap anak; (4) perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; (5) pornografi melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi kekerasan; (6) pemaksaan pelacuran; (7) Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; (8) kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; (9) Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya meruapakan TPKS; dan (10) Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

4.   Hak Korban TPKS


Korban TPKS mendapat hak atas pemulihan (Pasal 67 ayat 1 UU TPKS) berupa: Rehab medis, rehab mental dan sosial, pemberdayaan sosial, restitusi dan atau kompensasi, dan reintegrasi sosial. Mengenai restitusi korban, Eddy OS Hiareij pakar Hukum UGM menjelaskan bahwa UU TPKS memberikan kepastian restitusi terhadap korban. Selain menjatuhkan pidana penjara dan/atau denda terhadap pelaku, hakim juga wajib menetapkan besarnya restitusi yang harus dibayarkan pelaku terhadap korban. Besarnya restitusi adalah berdasarkan perhitungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang sejak awal telah melakukan koordinasi horizontal dengan polisi dan jaksa yang menangani kasus tersebut.


Sejak ditetapkan sebagai tersangka, harta pelaku bisa disita penyidik sebagai jaminan untuk membayar restitusi. Penyitaan dilakukan dengan mempertimbangkan hak pihak ketiga yang beritikad baik. Dalam hal ini, suami/istri dan atau anak. Bilamana harta kekayaan pelaku tak mencukupi untuk menutup besarnya restitusi yang ditetapkan hakim, kekurangannya akan dikompensasi oleh negara melalui dana bantuan korban (DBK), sementara pelaku diganjar hukuman pengganti yang tak melebihi ancaman pidana pokok dari pasal yang dilanggar (Eddy OS Hiareij pakar Hukum UGM).

 

5. Hukum Acara


Selanjutnya, Eddy OS Hiareij pakar Hukum UGM, menyebutkan bahwa UU TPKS mengatur hukum acara yang sangat komprehensif dan detail, mulai dari pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang, hingga eksekusi terhadap putusan pengadilan. Perlindungan dan pemulihan terhadap korban dilakukan secara simultan dengan proses hukum.


Pada kasus yang melibatkan anak dan disabilitas, UU TPKS memberikan jaminan perlindungan bahwa atas kehendak atau persetujuan tidak menghapus tuntutan pidana dan bukan aduan. Perkara TPKS tidak dapat diberlakukan di luar proses peradilan kecuali pelaku anak sebagaimana diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengenai diversi yang dibatasi pada Tindak Pidana yang diancam TPKS di bawah 7 (tujuh) tahun ke atas dan bukan merupakan kasus yang berulang.


Pendampingan terhadap korban dalam setiap proses diatur secara rinci, termasuk pula terhadap korban yang mengalami trauma berat. Hal ini untuk mencegah reviktimisasi terhadap korban. Demikian juga pengaturan terkait pemutusan akses atau menghapus informasi dokumen elektronik yang bermuatan TPKS diatur secara jelas. Pembuktian dalam UU TPKS sangat progresif dengan memasukkan barang bukti sebagai alat bukti, termasuk kekuatan pembuktian dari saksi atau korban penyandang disabilitas yang memiliki nilai sama dengan saksi atau korban yang bukan penyandang disabilitas.


Selain disampaikan di depan sidang pengadilan dan di bawah sumpah, keterangan saksi juga memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan pembacaan berita acara pemeriksaan saksi yang telah diberikan di bawah sumpah atau janji, pemeriksaan saksi melalui perekaman elektronik dan pemeriksaan saksi secara langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual.

 

6. UPTD PPA


Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dibentuk sebagai pelaksana teknis operasional pada satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. UPTD PPA berfungsi sebagai penyelenggara pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, dan masalah lain. UPTD PPA ini sebagai one stop crisis center dalam menanggulangi TPKS.

 

Penutup


Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, atau menghadirkan kasih sayang pada manusia dan alam, Islam menolak segala bentuk kekerasan seksual. Karena kaidah dasar dari hukum syari’ah juga memastikan kemaslahatan dan keamanan bagi manusia, maka UU TPKS ini sesuai dengan semangat Syari’ah Islam. Kekerasan seksual adalah kejahatan dan kezaliman, yang mengakibatkan keburukan dan kerusakan fisik dan psikis kepada para korbanya. Karena itu, Islam memiliki prinsip dasar untuk menolak segala bentuk kerusakan, keburukan, dan kekerasan.


UU TPKS berperan agar yang menjadi pelaku akan dihukum dan direhabilitasi agar kembali menjadi pribadi yang tidak lagi sebagai pelaku kekerasan. Yang menjadi korban akan didampingi dan dipulihkan, untuk mengurangi dampak-dampak negatif dari kejahatan kekerasan tersebut. Dengan disahkan UU TPKS, diharapkan selain korban mendapatkan hak-haknya, penegakan hukum terhadap pelaku dapat berlangsung efektif dan efisien. Selain itu, diharapkan angka TPKS dapat menurun drastis dengan berbagai macam program pencegahan, termasuk sosialisasi. Keberhasilan sistem peradilan pidana pada hakikatnya tidak tergantung dari berapa banyak kasus yang diungkap, tetapi bagaimana mencegah terjadinya kejahatan.


(Tulisan akan dimuat pada Buletin Pena Fatayat Garut Edisi ke-2)

 

 

 

 

 

 


Sabtu, 13 Maret 2021

RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) WEBWORKSHOP GURU MENULIS AGP PGRI GARUT

“GURU DAN TRADISI MENULIS”

Oleh: Ai Sadidah *)

*) Penulis adalah guru SMPN 1 Cisurupan Kab. Garut


Dari kegiatan Webworkshop Guru Menulis Asosiasi Guru Penulis (AGP) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Garut yang dilaksanakan pada Selasa dan Rabu tertanggal 9 – 10 Maret 2021, salah satu topik yang menarik perhatian saya adalah “Guru dan Tradisi Menulis” yang disampaikan oleh Dr. Encep Suherman, M.Pd. Topik ini disampaikan nara sumber sebagai topik pertama pada hari ke-dua yang digelar secara virtual melalui zoom meeting dan live streaming YouTube PGRI Garut.

Mengawali paparannya, nara sumber mengajak peserta webworkshop membedakan antara menulis dan mengarang. Nara sumber mengilustrasikan perbedaan menulis dan mengarang dalam beberapa kalimat seperti menulis skripsi, menulis artikel; mengarang cerpen, mengarang novel. Dari sini kemudian, diberikan kesimpulan yang mendeskripsikan pengertian menulis dan mengarang.  Menulis dimaknai sebagai proses menghasilkan segala bentuk karya tulis, baik fiksi maupun nonfiksi. Sedangkan mengarang hanya tepat dihubungkan dengan proses menghasilkan karya tulis berbentuk fiksi saja.

Paparan selanjutnya, nara sumber mendeskripsikan beberapa alasan mengapa guru harus menulis. Ada banyak alasan yang sebenarnya bisa menjadi motivasi agar guru bisa menulis. Diantaranya adalah:

  • Mendorong untuk banyak membaca
  • Memiliki wawasan luas
  • Mengikat ilmu pengetahuan
  • Melatih kemampuan berbahasa Indonesia
  • Memperlambat kepikunan
  • Memotivasi siswa
  • Mendapatkan penghasilan tambahan
  • Memenuhi syarat kepangkatan

Yang menarik, menurut nara sumber sebaiknya guru memulai menulis tentang apa saja. Pokoknya menulis. Tetapi bagaimana agar kita sebagai guru bisa menulis? Untuk menjawab pertanyaan ini, nara sumber menyampaikan bahwa guru itu IREX dalam menulis. IREX ini ternyata akronim dari Inspiration, Research, Experience. Artinya guru menemukan inspirasi, kemudian melakukan riset dan bisa juga menuangkan pengalamannya sebagai bahan tulisan. Jenis tulisan yang bisa dipilih guru bisa berupa Eksposisi, Deskripsi, Argumentasi, Narasi yang oleh nara sumber diistilahkan dengan EDAN. 

Namun, nara sumber juga mengingatkan bahwa sarat menulis itu harus ada kemauan, motivasi, pengetahuan, dan kemampuan. Ada banyak yang memiliki kemauan tapi motivasi menulis masih kurang walau pun pengetahun dan kemampuan mendukung juga, tulisan tidak dihasilkan juga. Begitupun ada yang kemauan tinggi, motivasi kuat tapi pengetahuan dan kemampuan kurang, ini bisa ditingkatkan dengan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan tersebut. Biasanya orang yang rajin menulis itu juga banyak membaca sebagai sumber pengetahuan yang dituangkan dalam tulisan. Walaupun demikian, menulis itu tidak dilahirkan tetapi dilatihkan. 

Bagaimana memulai menulis? Nara sumber menjelaskan ada langkah-langkah yang bisa dilakukan agar bisa memulai menulis, yakni cari dan tentukan topik; cermati pola pikir penulis lain, dan praktik menulis. Jadi menulis itu bukan dipikirkan saja tetapi dilakukan berupa praktek konkret menulis.

Sebagaimana nara sumber yang sebelumnya, nara sumber kali ini juga mengingatkan memang ada beberapa kendala yang menjadikan menulis belum menjadi tradisi para guru. Kendala tersebut ada yang bersifat psikologis, kemampuan, dan ekonomis. Kendala psikologis biasa dialami karena kurang percaya diri, takut dikritik orang lain, takut ditertawakan orang lain, dan sebagainya. Kendala berikutnya bersifat kemampuan. Kemampuan menulis memang harus dilatih secara rutin sebagaimana membaca menjadi suatu kebiasaan. Kemampuan menulis juga bisa ditingkatkan dengan banyak membaca karya orang lain. Terakhir, kendala ekonomis. Biasanya kendala ini bisa berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur yang mendukung proses menulis. Namun, saat ini semestinya kendala ini sudah dapat diminimalisir dengan memanfaatkan teknologi yang mendukung menulis dan penyebarluasannya seperti sosial media, blogspot, atau web yang tidak berbayar yang bisa dimanfaatkan.

Demikian beberapa catatan yang sempat saya dapatkan dari nara sumber hari kedua yang menyajikan topik ““Guru dan Tradisi Menulis”. Topik yang sangat menarik dan menantang. Setidaknya bagi saya. 


 

Minggu, 31 Januari 2021

Nadom Munajat (Bahar Waafir)


Saya menyebutnya Nadom Munajat yang kemudian belakangan disebut Ikrar Tawado. Satu syair yang ditulis Abah saya di sekitar April 2013. Jika dilantunkan menjadi satu nadoman dengan jenis bahar waafir (jangan tanya soal ini ya, saya pun ga ngerti ... hehe)

-----------------------------------------------------------------
Berikut syair Nadom Munajat atau Ikrar Tawado: Ngarasa, Rumasa, Tumarima

Kuring NGARASA diogo kalintang # kunu Maha Kawasa kanu warenang
Pirang-pirang kapihayang kasorang # sering pisan leupas tina kahariwang
Pami Alloh ngeresakeun ngahalang # yakin mohal kasorangna kahayang
Tinu kahariwang moal umanggang # upami ku kersa-Na sina narajang

Kuring RUMASA jalma kuricakan # anu kasendehan ku kahinaan
Hese beleke gawe kahadean # tipoporose ngamangle kagorengan
Teu ngestokeun ngawula ka Pangeran # Ibadah ngan saukur kangaranan
Lamun wani ngaku-ngaku kaagungan # euleuh teu nalipak awak sorangan
Lamun tega ngahina kanu lian # payus mun disebut nu notorogan

Kuring TUMARIMA sariring dumadi # paling hina geningan diri abdi
Paling luhung Ilahi saha deui # Ilahi Anta Wahidun fis-sama-i
Wainni wahidun fil ardli tsa-i # faakrimni Ilahi dzal baha-i

Untuk bahar waafirnya silakan klik video di atas atau dicek di https://www.youtube.com/watch?v=Sp1JYK0XAeE


Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Kacamata Fiqh

 Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Kacamata Fiqh

Oleh: Ai Sadidah *)

(Disampaikan dalam Diskusi Daring bersama IPPNU Kab. Garut)

 

Pendahuluan


Saat kita di SMP/MTs pada pelajaran IPA, kita tentu pernah belajar tentang Sistem Reproduksi Manusia yang didalamnya tentang Sistem Reproduksi Perempuan dibahas. Sistem reproduksi ini terdiri dari organ-organ reproduksi yang memiliki fungsi khusus sebagai fungsi reproduksi pada manusia. Sistem reproduksi laki-laki berbeda dengan sistem reproduksi perempuan. Inilah yang membedakan laki-laki dan perempuan secara biologis. Perbedaan biologis ini sifatnya takdir (setiap kita tidak terlahir atas pilihan sebagai perempuan atau laki-laki, tetapi semata-mata setiap kita ditakdirkan sebagai perempuan atau laki-laki sesuai kehendak-Nya), given dari Allah, bersifat universal (di seluruh dunia definisi laki-laki dan perempuan dari sistem reproduksinya sama) dan tetap (tidak dipertukarkan).


Secara biologis, organ reproduksi laki-laki terdiri atas penis, kantung sperma, sperma. Sedangkan pada perempuan, organ reproduksi itu meliputi vagina, indung telur, rahim, horman prolaktin (fungsinya meningkatkan produksi ASI). Organ reproduksi yang dimiliki masing-masing perempuan dan laki-laki ini memiliki fungsi yang berbeda. Fungsi organ reproduksi pada laki-laki bekerja saat mimpi basah dan hubungan seksual terjadi. Sementara pada perempuan fungsi organ reproduksi ini berfungsi dalam hubungan seksual dan memberikan perempuan 5 pengalaman biologis: menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui.  Perbedaan biologis ini ternyata berdampak pada adanya pembedaan sosial dalam masyarakat. Dalam sistem patriarki, pengalaman biologis perempuan melahirkan pengalaman sosial (yang dikenal sebagai ketidakadilan gender): stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda.


Reproduksi atau kemampuan berkembang biak adalah salah satu potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia, sebagaimana dianugerahkan pula kepada makhluk hidup yang lain. Kalau dalam bahasa sains: reproduksi itu salah satu ciri mahkluk hidup yang dialami manusia juga hewan dan tumbuhan. Dengan berkembang biak manusia dapat menjaga eksistensinya di muka bumi ini untuk melanjutkan tugas sebagai khaīifatullahi fi al-ardli. Perempuan dan laki-laki sebagai manusia memiliki status melekat sebagai hamba Allah dan kedunya mempunyai amanat melekat sebagai khaīifatullahi fi al-ardli. Karena manusia bereproduksi melalui perkawinan seksual, ketika berbicara reproduksi perempuan akan terkait dengan reproduksi laki-laki. Kan tidak akan terjadi reproduksi pada manusia kalau tidak terjadi pertemuan sel kelamin laki-laki dan perempuan. Fiqh memandang perkawinan seksual manusia yang sah dan bermartabat ini melalui perkawinan. Tetapi harus diingat bahwa perkawinan dalam Islam bukan bertujuan hanya untuk kepuasan seks atau kepuasan ekonomi, namun tujuan pernikahan dalam Islam itu untuk ketenangan jiwa. Dan, tak boleh dilupakan bahwa reproduksi dalam konteks perkawinan seksual yang disahkan melalui pernikahan ini merupakan tugas kemanusiaan yang melibatkan tiga “elemen”, yaitu Allah, suami (laki-laki), dan istri (perempuan). Keterlibatan Allah tidak hanya berarti bahwa berhasil tidaknya proses reproduksi tergantung pada kehendak mutlak Allah, tetapi juga berarti bahwa sepanjang proses reproduksi harus mengikuti ajaran dan tuntunan-Nya. Sedangkan keterlibatan suami-istri mengimplikasikan adanya hak dan kewajiban yang sama di antara keduanya dalam proses reproduksi.

 

Kesehatan Reproduksi


Kesehatan reproduksi sering disalahartikan secara sempit hanya sebagai hubungan seksual saja, sehingga banyak orang tua yang merasa bahwa topik pembicaraan ini tidak pantas untuk dibicarakan dengan remaja. Padahal, kesehatan reproduksi merupakan keadaan kesehatan fisik, mental, dan sosial yang sangat penting untuk dimengerti oleh remaja, sehingga tidak melulu membahas mengenai hubungan seksual.


WHO mendeskripsikan kesehatan reproduksi sebagai suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Sementara menurut hasil ICPD (International Conference on Population and Development) 1994 di Kairo, kesehatan reproduksi adalah keadaan sempurna fisik, mental, dan kesejahteraan sosial dan tidak semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta proses.


Dengan demikian, kesehatan reproduksi ini mencakup tentang hal-hal sebagai berikut:

1) Hak seseorang untuk dapat memperoleh kehidupan seksual yang aman dan memuaskan serta mempunyai kapasitas untuk bereproduksi;

2) Kebebasan untuk memutuskan bilamana atau seberapa banyak melakukannya;

3) Hak dari laki-laki dan perempuan untuk memperoleh informasi serta memperoleh aksebilitas yang aman, efektif, terjangkau baik secara ekonomi maupun kultural; 

4) Hak untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai sehingga perempuan mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara aman.

 

Perempuan: Pengemban Tugas Kemanusiaan Reproduksi

 

Meskipun proses reproduksi umat manusia tidak bisa terlaksana tanpa keterlibatan suami (laki-laki) dan istri (perempuan) secara bersama, tetapi istrilah (perempuan) yang memikul fungsi utama, karena kenyataannya sebagian besar organ-organ reproduksi berada pada kaum hawa ini. Karena tugas yang sangat amat berat itulah, Rasulullah di banyak sabdanya mengangkat derajat ibu (istri). Kalau kemudian kenyataannya posisi ibu (istri) menjadi terpuruk di hadapan suami, itu bukan kesalahan ajaran, melainkan kesalahan memahami ajaran dan yang merasa paling punya otoritas terhadap ajaran. Akhirnya, demi kemaslahatan umat manusia perempuan sebagai pengemban utama tugas reproduksi harus mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan, jaminan kesejahtraan, dan jaminan ikut mengambil bagian dalam menentukan proses-proses reproduksi.

 

  

Kesehatan Reproduksi dalam Pandangan Fiqh

 

Memang benar bahwa proses reproduksi yang paling utama adalah mengandung, melahirkan, dan menyusui. Namun bila dicemati, sesungguhnya, proses reproduksi bagi perempuan yang perlu mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan adalah mulai dari menstruasi, memilih dan menentukan pasangan, hubungan seks, mengandung, melahirkan, nifas, menyusui, dan merawat anak. Jaminan ini sebenarnya telah diberikan oleh fikih Islam. Ketika perempuan sedang menstruasi dan nifas, misalnya, mereka diberi cuti reproduksi – meminjam istilah Masdar-, seperti cuti salat, cuti puasa, dan lain-lain demi menjaga kondisi kesehatan mereka, baik fisik maupun mental. Di samping itu mereka juga dilarang melakukan hubungan seks. Kalau larangan ini dilanggar, suami diharuskan membayar denda (fidyah). [as-Syarbini al-Khatib, al-Iqna`, vol. I, hlm. 87]


Memilih dan menentukan pasangan juga memiliki implikasi terhadap jaminan keselamatan dan kesehatan reproduksi, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Paling tidak persoalan ini bisa dilihat dari dua sisi, yaitu siapa pasangan yang akan menjadi pendampingnya dan menentukan usia berapa ia akan menikah. Kedua-duanya bisa berpengaruh pada kesehatan baik fisik maupun mental. Hal ini harus mendapat perhatian serius dari para orang tua agar tidak semena-mena menggunakan hak prerogatifnya sebagai wali mujbir, walaupun dalam perspektif fikih tentang wali mujbir, bahkan penggunaan wali dalam nikah sendiri, masih diperselisihkan.


Ada beberapa isu partikular yang sering dikaitkan sebagai isu kesehatan reproduksi dalam Islam. Kyai Husein Muhammad menyebut beberapa isu partikular itu: hubungan seksual, kehamilan, aborsi, khitan perempuan.


Hak menolak dan menikmati hubungan seks, misalnya, terkait langsung dengan kesehatan istri. Kewajiban perempuan menyerahkan tubuhnya kepada suami tanpa bisa menolak mengakibatkan perempuan (istri) tidak bisa mengontrol atau mengatur sendiri hak-hak reproduksinya. Ketidakberdayaan perempuan menolak hasrat seksual laki-laki (suami) dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang baik bagi kesehatan reproduksi. Sejauh ini, pandangan tentang kewajiban istri tersebut selain dilatarbelakangi oleh tradisi, kerap dilatarbelakangi pula oleh pandangan agama. Penolakan istri, oleh perspektif keagamaan tertentu, akan dicap sebagai tindakan kedurhakaan. Padahal, agama menekankan perlunya mu’asyarah bi al-Ma’ruf  (saling berinteraksi secara baik) antara suami dan istri. Agama juga menekankan agar suami-istri membangun kehidupan bersama dalam situasi yang diliputi ketenangan dan cinta kasih (sakinah mawaddah wa rahmah). Cita-cita perkawinan ini sulit terwujud tanpa relasi suami-istri yang saling memahami, menghargai, dan menjaga eksistensi masing-masing. Sikap saling menghargai dan memahami antara suami-istri pada gilirannya akan berdampak positif pada kesehatan reproduksi sang istri. Kesehatan reproduksi hanya dapat terjaga manakala relasi seksual dilakukan dalam kondisi yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi kedua belah pihak.


Kesehatan reproduksi juga terkait dengan hak kehamilan. Kehamilan, menurut Alquran, merupakan proses reproduksi yang sangat berat, wahnan ‘ala wahnin (kelemahan yang berganda {Q.S. Luqman: 14}); kurhan (sesuatu yang sangat berat) {Q.S. al Ahqaf: 15}. Alquran dalam kaitan ini meminta umat Islam untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap proses kehamilan ini. Semangat tuntutan Alquran tersebut tidak hanya ditujukan kepada anak-anak untuk berlaku hormat kepada ibu, namun juga suami dan orang lain (masyarakat luas) dalam memperlakukan perempuan yang hamil dengan penuh perhatian. Karena setiap orang adalah anak dari seorang ibu. Terdapat banyak fakta tentang kematian ibu melahirkan yang disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan yang terjadi dalam proses melahirkan. Secara teknis, perhatian tersebut berhubungan dengan beban kerja yang berat dan pelayanan yang buruk kesehatan fisiknya. Perempuan yang sedang hamil sangat dianjurkan untuk tidak dibebani kerja-kerja berat dan melelahkan.


Aborsi adalah isu partikular lain yang terus menjadi problem kesehatan serius bagi perempuan. Dewasa ini, semakin nyata fakta bahwa banyak perempuan yang tidak menghendaki kehamilan dan mempunyai anak terpaksa melakukan aborsi. Memang, ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Beberapa di antaranya terjadi akibat hubungan seks tanpa nikah dan akibat perkosaan. Fakta lain menunjukkan bahwa aborsi kadang dilakukan akibat kegagalan kontrasepsi. Kasus yang disebut terakhir, menurut beberapa laporan penelitian lapangan, justru merupakan faktor penyebab yang paling banyak dibanding yang pertama (akibat hubungan seks pra nikah dan perkosaan). 


Dari perspektif Islam, isu ini sudah sangat lama mendapat perhatian para ulama. Pada prinsipnya aborsi memang haram dilakukan. Namun, ada sekian hal dan situasi tertentu yang memaksa perempuan melakukan aborsi. Dalam hal inilah para ulama kemudian mendiskusikannya. Mereka sepakat bahwa aborsi dapat dilakukan pada usia janin sampai  42 hari (8 minggu). Perdebatan di antara ulama terkait aborsi adalah pada aborsi yang dilakukan pada usia di atasnya (43 hari) sampai dengan 120 hari. Perdebatan ini terjadi, karena tidak adanya teks agama yang menegaskan hukumnya secara pasti (qath’iy). Karenanya, persoalan aborsi adalah wilayah ilmiyah (ijtihadiy). Keharaman aborsi yang telah disepakati para ulama berlaku bagi usia kehamilan di atas 120 hari.


Meski demikian, para ulama berbulat sepakat menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan kapan saja sepanjang proses kehamilan hingga kelahiran dapat mengancam keselamatan nyawa ibu. Dalam pandangan para ulama, dalam kondisi darurat tersebut, nyawa ibu jauh lebih penting dibanding keselamatan nyawa janin. Kaedah yang dipergunakan adalah “Idza ta’aradh al-Mafsadatani ru’iya a’zhamuhuma dhararan bi irtikab akhaffi- hima,” (jika ada dua ancaman yang membahayakan, maka selamatkan yang memiliki dampak bahaya yang paling besar, dengan mengorbankan yang dampaknya lebih ringan). Terkait hal tersebut, para ulama sepakat pula bahwa proses aborsi darurat harus dilakukan paling tidak melalui dua syarat. Pertama, bahwa keadaan darurat tersebut harus berdasarkan analisis dan rekomendasi para ahli (dokter). Kedua, harus ditangani tenaga medis yang berpengalaman dan diakui pemerintah.


Khitan Perempuan juga merupakan masalah yang mempengaruhi kesehatan perempuan. Sejak lama para ulama telah membahas dan memperdebatkan masalah ini. Kesimpulannya, mereka berbeda pendapat: wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram. Perbedaan kesimpulan ini lagi-lagi dikarenakan bahwa Alquran maupun hadis Nabi tidak menegaskan hukumnya secara pasti (qath’iy), sebagaimana pada khitan laki-laki. Nabi saw. hanya menyebutnya sebagai “kehormatan” bagi perempuan. Kata “kehormatan” mengindikasikan bahwa khitan perempuan lebih sebagai akomodasi atas tradisi yang sedang berlangsung saat itu.


Adalah menarik bahwa pada tanggal 24 Juni 2007 lalu, mufti Mesir, Dr. Ali Jum’ah menegaskan bahwa khitan perempuan dilarang. Fatwa ini juga sebelumnya dikemukakan oleh Grand Syeikh Universitas Al Azhar, Sayid Muhammad Thanthawi. Beliau kemudian menyatakan bahwa hal ini perlu diserahkan para ahli medis untuk menentukan manfaat atau mudaratnya (bahayanya).

 

Penutup

Persoalan kesehatan reproduksi perempuan bukan sekedar persoalan medis. Namun juga menjadi persoalan yang terkait dengan kondisi perempuan secara sosial. Perempuan ketika mengalami masa reproduksi, kondisi biologisnya sering kesakitan. Dalam hal inilah diperlukan bantuan kebijakan yang empati terhadap kondisi tersebut. Dalam perspektif fiqh (Islam) harus diingat kembali tujuan syariat yakni kemaslahatan. Dalam memotret kesehatan reproduksi perempuan, pengalaman perempuan harus dipertimbangkan agar tujuan syariat tercapai yakni kemaslahatan.

 

Wallahu’alam


Daftar Pustaka


Pentingnya Remaja menjaga kesehatan reproduksi

https://skata.info/article/detail/91/pentingnya-remaja-menjaga-kesehatan-reproduksi

 

Kesehatan Reproduksi Remaja

https://ruangguruku.com/kesehatan-reproduksi-remaja/

 

Isu-isu partikular kesehatan reproduksi

https://swararahima.com/2018/09/04/isu-isu-partikular-kesehatan-reproduksi/

 

Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Fiqh

http://mahadaly-situbondo.ac.id/kesehatan-reproduksi-dalam-perspektif-fikih/

Welcome February

Wah ternyata Januari 2015 terakhir posting di blog ini ...

Bahkan sudah lupa banyak gimana kembali memulai posting di blog ini?

Tak apalah sambil kembali belajar mengisi blog ini, diniatkan kembali mendisiplinkan diri menulis atau sekedar berbagi tulisan tentang apa saja di blog ini ya...

Semoga ada manfaat yang bisa dipetik dari postingan yang dibagikan. Jika ada yang kurang berkenan, tolong dimaafkan dan  jangan sungkan berikan masukan di kolom komentar

Blog ini terabaikan bahkan hampir terlupakan tersebab ada banyak kesibukan yang menyita perhatian sampai lupa memperhatikan blog ini... hehehe... tulisan-tulisan ringan saya tulis di microblogging seperti facebook aja sambil pajang beberapa foto narsis ... hihihi

Dan, entah angin apa yang membawa saya kembali menghampiri blog ini

Niatnya sih untuk nyimpen beberapa tulisan aja dan siapa tahu ada yang membutuhkan (halahhh) 

So, selamat datang kembali di blog Sang Pembelajar ... Selamat datang February 


Rabu, 28 Januari 2015

Tulisan lama, resensi buku tentang JILBAB

Judul Buku        : JILBAB Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan
Judul Asli          : Veil : Modesty, Privacy and Resistance.
Penulis             : Fedwa El Guindi
Penerjemah       : Mujiburohman
Penerbit            : Serambi Jakarta
Tahun Terbit      : Maret 2004 (cetakan ketiga)
Tebal                : 349 halaman
      Jilbab merupakan satu wacana yang hangat diperbincangkan seiring gencarnya isu gender dan feminisme. Ini terkait dengan pandangan kontroversi seputar jilbab, satu sisi dipandang sebagai simbol keterkungkungan dan domestifikasi perempuan dan pada sisi yang lain menjadi simbol identitas sebuah gerakan suatu komunitas.

Ulama Perempuan untuk Kemanusiaan


Resensi Buku “Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima
Ditulis Oleh: Ai Sadidah

Judul Buku: Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima
Tim penulis: AD. Eridani, Mawardi, AD. Kusumaningtyas, Maman Abdurrahman
Editor: Nor Ismah
Penerbit : Rahima, 2014
Jml hal : 2364 hal
 
Secara etimologi, ulama (Arab:العلماء, tunggal عالِم ʿĀliw) adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari-hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. Pengertian ini memang merupakan pengertian yang secara umum dianut oleh masyarakat kita ketika mendefinisikan ulama.