Sabtu, 27 September 2014

Komentar atas "Refleksi Pendidikan Kontemporer Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan"

"Refleksi Pendidikan Kontemporer Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan"
dapat dibaca di Link berikut:  https://www.academia.edu/7444798/Refleksi_Pendidikan_Kontemporer_Indonesia_Sebuah_Tinjauan_Filsafat_Politik_dan_Ideologi_Pendidikan


Komentar saya:
Tulisan ini cukup menjawab sebagian kegelisahan saya atas pertanyaan yang selalu berulang dalam benak saya: Quo Vadis Pendidikan Indonesia? Pertanyaan ini sering menghinggapi saya ketika saya menyaksikan bagaimana praktek kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sekarang ini. Sebagian kita tentu senang ketika bangsa kita dijuluki sebagai bangsa yang ramah, sementara di banyak tempat di wilayah kita terjadi kekerasan atas nama suku, agama, ras dan antar golongan. Tidak sedikit sebagian dari kita merasa tersanjung –kadangkala menyanjung diri- sebagai bangsa yang religius sementara perampokan hak-hak hidup orang banyak terjadi dengan kasat mata di depan kita. Dan seringkali kita tidak bisa mencegahnya. Sebagian kita sebagai orang tua dan orang dewasa seringkali menunjukkan ketidak konsistenan sikap dan perbuatan. Tidak sedikit orangtua yang sangat menuntut anaknya disiplin tanpa dia sendiri memberikan teladannya.
Mungkin sebagian orangtua dan guru ada yang lupa bahwa anak-anak itu adalah peniru ulung orang dewasa. Maka yang semestinya dilakukan adalah memberikan teladan baik yang bisa ditiru oleh anak-anak kita. Kondisi-kondisi yang kontradiktif yang saya kenali ini selalu menyisakan pertanyaan pada batin saya: apa yang sudah dilakukan dunia pendidikan yang melahirkan orang-orang dengan dengan fenomena kontadiktif ini? Saya setuju dengan Bapak. Kita berada pada kegamangan pada identitas (jati diri) sebagai sebuah bangsa. Tidak bisa dipungkiri bahwa krisis multi dimensi dan jatuhnya rezim otoriter telah menyisakan agenda besar untuk kita agar bisa berdiri dan tegak dengan identitas yang jelas di tengah pergaulan bangsa-bangsa. Alih-alih menjadi bangsa yang kuat, krisis yang hampir tiada akhir sampai sekarang pun, malah membuat kita semakin terhuyung-huyung. Euphoria kebebasan melahirkan individu dan kelompok yang keras pada identitas sendiri dan mengaburkan sebuah identitas besar sebagai sebuah bangsa yang beragam. Seiring terbukanya globalisasi yang tidak bisa dihindari, identitas kebangsaan kita mendapatkan tantangan dengan masuknya ideologi-ideologi impor yang tidak sedikit bertabrakan dengan ideology besar kita. Pancasila sebagai jati diri bangsa dikoyak-koyak dengan kehadiran ideology impor ini. Tidak terkecuali dunia pendidikan pun mengalami gempuran yang tidak kalah hebat. Saya menyaksikan bagaimana di sebuah sekolah (negeri) prosesi upacara bendera digugat karena ada prosesi menaikkan bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya? Bagaimana meneguhkan identitas kebangsaan ketika kita tidak siap miemberikan penghormatan pada bendera dan lagu kebangsaan negaranya sendiri?
Menarik tulisan ini karena memaparkan bagaimana pendidikan kita tidak lepas dari ideology politik. Ada banyak tulisan yang mencoba menjauhkan dunia pendidikan kita dari wilayah politik. Padahal sesungguhnya tidak ada dunia yang bebas nilai. Saya sepakat dengan Bapak. Kita saat ini berada pada praktek politik transaksional dan politik uang. Politik ini pun sudah masuk pada dunia pendidikan kita. Bagaimana biaya pendidikan dihitung menghabiskan biaya seberapa besar dan kelak hitungan itu harus kembali minimal dalam jumlah yang sama ke pundi-pundi kita. Pendidikan dipandang sebagai sebuah investasi. Indikator keberhasilannya ditentukan oleh daya serap industri atas lulusan lembaga-lembaga pendidikan ini. Bagian akhir tulisan Bapak jelas menyebutkan solusi atas kekacauan dunia pendidikan Indonesia kontemporer. Tawaran Bapak adalah politikb pendidikan demokrasi Pancasila. Skema dan langkah-langkahnya konkret. Tapi bagi saya tetap ada ganjalan Pak. Bagaimana kita bisa meneguhkan lagi Pancasila sebagai jati diri bangsa, sebagai way of life, sebagai ideology negara kita? Kerangka teknisnya seperti apa? Sementara kita tidak menutup mata, saat ini ada kelompok-kelompok yang alergi dengan Pancasila entah sebagai ideology bangsa atau apa pun. Saya kira ini menjadi PR kita bersama bagaimana meyakinkan kita dan generasi kita yang akan datang bahwa kita punya Pancasila sebagai identitas kebangsaan kita. Bukan soal meragukan Pancasila, mungkin karena sisa-sisa rejim otoriter membuat sebagian kelompok masyarakat kita tidak nyaman dengan “Pancasila” dan pada saat yang sama malah menawarkan ideology impor yang seringkali tidak “bernyawa” karena tidak lahir sebagai kekuatan lokal Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar