Jumat, 26 September 2014

Pilkada Langsung: Nasibmu Kini

Jumat dini hari (26 Juni 2014) di akhir pemerintahan presiden hasil pemilihan langsung, SBY, para wakil rakyat di DPR RI mengetok palu pengesahan RUU Pilkada. Ada dua opsi yang ditawarkan: pemilihan kepala daerah (bupati/wali kota/gubernur) dipilih langsung atau dipilih DPRD. Sebelum ke tahap pengesahan Jumat kemarin, berbagai reaksi sudah ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia menanggapi RUU ini. Media sosial twitter terutama ramai sekali membahas ini. Kalau dikalkulasi di twitter ini pendukung pemilihan langsung lebih mendominasi suaranya dibanding yang opsi dipilih DPRD.



Kalkulasi politik yang dilakukan elit memang berbeda dengan harapan dan hitungan rakyat. Para elit senantiasa menghitung keuntungan dan kerugian untuk diri dan kelompoknya. Rakyat hanya jadi lip sing aja kalau dibutuhkan.

Setelah gelaran pilihan presiden yang menyisakan kekalahan pada salah satu kubu yang diusung sejumlah partai besar, langkah para elit di kubu yang kalah ini lebih cenderung pada penolakan hasil pilpres. Mereka yang kalah idealnya memberi teladan, setelah berbagai upaya ditempuh dibutuhkan kelapangan hati untuk menerima kekalahan itu. Sikap kenegarawanan malah hilang dari para elit parpol yang berkerumun dalam koalisi besar itu. Yang terjadi sebaliknya, menyiapkan berbagai manuver untuk menjegal pemerintahan baru melaksanakan amanat konstitusi.

Tidak bisa dipungkiri, aroma dendam pasca pilpres itu merambat ke parlemen. Dengan kekuatan kursi yang banyak di parlemen, kubu yang kalah di pilpres ini memenangkan suara mayoritas. RUU pilkada pun disahkan dan hasilnya pilkada dilaksanakan dengan dipilih oleh DPRD.

Tengoklah medsos beberapa waktu setelah UU pilkada ini disahkan. Twitter menempatkan hastag #shameonyouSBY menjadi trending topic. Artinya dunia tahu kegaduhan apa yang sedang terjadi di Indonesia. Begitu juga di facebook, tidak sedikit yang menumpahkan kekecewaannya pada hasil sidang DPR jumat kemarin.

Bagi para aktivis gerakan, tentu adanya pemilihan langsung menjadi dipilih DPRD ini sebuah kemunduran atas capaian reformasi satu dekade ini. Dalam beberapa cuitan atau status ada yang mengatakan baliknya rezim orde baru. Bagi yang pernah mengalami pergulatan bagaimana susahnya menegakkan supremasi sipil, tentu pencabutan hak pemilihan langsung ini sangat menghianati perjuangan yang sudah dilakukan berdarah-darah.

Sebagai suatu cara yang dipilih, tentu pemilihan langsung itu belum sempurna. Namun bukan dengan menggantikannya dengan balik ke cara yang ditempuh orde baru. Mestinya dibenahi bolong-bolongnya apa, infrastrukrut dikuatkan, dan sebagaianya. Yang membuat kuatir dan pesimistis atas pemilihan oleh DPRD adalah sejarah bagaimana di jaman orde baru itu, pemilihan yang dilakukan DPRD menghasilkan kepala daerah seperti apa. Dalam 10 tahun terakhir ketika pilkada langsung dilakukan kita mendapatkan kepala-kepala daerah yang dekat dengan rakyat, profesional di bidang tertentu, dan bahkan kita mengukir sejarah ketika seorang warga negara biasa seperti Joko Widodo menjadi seorang presiden. Rasanya sulit membayangkan kader-kader terbaiak yang populis dapat terpilih kalau pemilihan dilakukan diwakilkan. Problemnya lagi, yang menjadi wakil di DPRD itu seringkali juga tidak memposisikan diri sebagai wakil rakyat.

Nasi sudah menjadi bubur. RUU pilkada sudah disahkan. Secara hukum bagi yang tidak puas bisa melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Yang jelas, UU Pilkada ini menjadi kado bagi SBY di ahir jabatannya. Semula banyak yang menaruh harapan, pak presiden membatalkan RUU tapi apa lacur para wakil dari partai pak presiden ini malah walk out saat dilaksanakan pemungutan suara.

Sekarang, kita tinggal menunggu hasil perjuangan judicial review di MK. Semoga kegembiraan kita menentukan sendiri kepala daerah kita masih dapat kita nikmati di pemilu 2019.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar