MENGENAL SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT
(Bagian 1)
Tulisan ini
diinsprirasi dari perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu Prof. DR.Marsigit,MA
yang dilaksanakan pada Jumat, 10 Oktober 2014. Saya memandang apa yang
disampaikan pada perkuliahan kali ini sangat luas dan dalam. Namun demikian
saya menyimpulkan bahwa yang disampaikan Prof Marsigit berpijak pada
perkembangan filsafat pada setiap episode jaman dan tokoh-tokoh yang menjadi
peletak madzab pemikiran tersebut.
Filsafat, termasuk di
dalamnya filsafat ilmu, memiliki objek meliputi “yang ada” dan “yang mungkin
ada”. Pada jaman Yunani kuno yang
dikenal sebagai jaman filsuf awal, ada beberapa aliran kepercayaan yang
berkembang tentang objek “yang ada”, yakni:
a. Monoism:
percaya pada satu hal
b. Dualism:
percaya pada dua hal
c. Pluralism:
percaya pada banyak hal
Pada filsafat awal di
Yunani Kuno, para filsuf dalam melihat alam tidak lagi berpedoman pada
keterangan mitos, legenda, atau agama tetapi murni kajian ilmiah dan rasional,
sehingga terbuka untuk didiskusikan (Rahman, 2013:67). Filsuf awal yang dikenal
pada masa Yunani Kuno ini antara lain Plato, Socrates dan Aristoteles. Kajian
pada filsafat awal ini tidak hanya fokus pada alam, namun juga mengkaji manusia
itu sendiri, yang meliputi kajian jiwa, pikiran, indra, logika, etika, dan
sebagainya.
Objek filsafat “yang
ada” dibedakan dalam dua pandangan yakni bersifat tetap dan bersifat berubah.
Adalah Permendiasianisme yang memandang bahwa objek filsafat itu bersifat
tetap. Aliran ini berpijak pada pemikiran filsuf Parmenides yang hidup pada
jaman Yunani Kuno sekitar 540 – 470 SM. Menurut Parmenides bahwa pengalaman
indrawi dalam kehidupan sehari-hari bersifat menipu dan semu belaka.
Menurutnya, sesungguhnya “yang ada” sebagai realitas sejati berada di balik
perubahan. Ia tetap, abadi, dan tidk berubah. Karenanya, saran Parmenides agar
manusia tidak percaya pada penglihatan, namun percayalah pada pikiran
(logos) lantaran “yang ada” hanya dapat
diketahui dengan pasti melalui pemikiran. Bagi Parmenides, gambaran yang tepat
adalah gambaran yang sesuai dengan akal manusia. Baginya, ungkapan yang dipakai
adalah “aku percaya kalau sudah memikirkannya” bukan ungkapan “aku percaya
kalau sudah melihatnya. Bagi Parmenides, “yang ada” adalah yang dapat diketahui
dan dipikirkan, sedangkan yang tidak ada tidak dapat diketahui dan tidak dapat
dipikirkan. Jadi menurut Parmenides, pengetahuan yang sebenarnya adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui akal budi. Parmenides dapat dikatakan
sebagai peletak dasar cabang filsafat yang disebut metafisika atau ontology,
yang meneyelidiki “yang ada” (Rahman, 2013:105-107).
Berbeda pandangan
dengan Permenidesianisme adalah Heracleitosianisme. Aliran ini berpijak pada
pemikiran filsuf Heracleitos yang hidup pada jaman Yunani Kuno sekitar 538 –
480 SM. Pokok pikiran Heracleitos yang terkenal adalah mengenai perubahan atau
menjadi. Ia menganggap bahwa segala sesuatu tidak ada yang diam atau tetap,
semuanya mengalir atau berubah. Dan karena segala sesuatu berubah maka
perubahan itu identic dengan sesuatu yang baru sehingga yang permanen atau
abadi ditolak (Rahman, 2013: 99).
Dalam menjelaskan
tentang perubahan, Heraclitos memberi contoh dan menunjukkan bukti dengan air
dan api. Tentang air, kata–katanya yang sangat terkenal adalah “engkau tidak
dapat terjun ke sungai yang sama dua kali, karena air sungai itu selalu
mengalir” (Ahmad Tafsir dalam Rahman, 2013:99). Sedangkan untuk api, ia
menggunakan analogi yang sama denga air. Tidak ada nyala api yang sama ketika
menyala. Menurut Heracleitos, dalam perubahan itu diikuti pertentangan atau
perlawanan, namun hal ini tidak harus disesali atau dijauhi. Dalam pandangannya
ini, pertentangan ini adalah prinsip keadilan. Bagi Heraclitos, jika tidak ada
perang, tidak mungkin kita merasakan indahnya damai; jika tidak sakit, tidak
mungkin kita merasakan nikmatnya sehat; bila tidak ada siang, tidak mungkin
kita mearasakan gelapnya malam. Dalam melihat perubahan alam yang berlangsung
teratur seperti perubahan musim panas dan musim dingin atau perubahan siang dan
malam, Heracleitos menganggap hal itu terjadi karena adanya hukum yang mengatur
perubahan tersebut. Heracleitos menyebut hukum ini dengan logos. Logos yang
dapat diartikan rasio, akal, atau semacam wahyu inilah yang menguasai dan mengatur
segala sesuatu, termasuk jiwa manusia. Logos ini tak ubahnya roh yang mengatur
hidup seluruh makhluk (Asmoro Ahmadi dalam Rahman, 2013:101).
Objek filsafat “yang
ada” dan “yang mungkin ada” ini juga menjadi telaah filsuf sepanjang masa.
Salah satu filsuf besar sepanjang masa adalah Plato. Ia hidup sekitar 427 – 347
SM. Plato adalah suatu julukan saja, karena nama aslinya adalah Aristocles. Ia
dijuluki Plato karena Aristocles ini memiliki dahi dan bahu yang lebar. Dan
pada akhirnya, nama julukannya ini lebih cepat terkenal disbanding namanya
sendiri. Plato Pandangan filsafatnya melahirkan aliran yang disebut Platonisme
dan ada juga yang menyebutnya Idealisme. Titik berangkat seluruh pemikiran
filsafat Plato adalah gagasannya tentang dunia ide-ide. Ide-ide disini berasal
dari kata idea atau ideas dalam bahasa Yunani yang berarti
visi atau kontemplasi. Bagi Plato, ide-ide merupakan asal-usul bagi segala
sesuatu. Jadi bagi Plato, yang ada itu terletak dalam ide-ide. Misalnya
segitiga. Menurut Plato, segitiga sebenarnya berada dalam dunia ide. Tentang
satu, satu sebenarnya menurut Plato berada dalam dunia ide. Plato juga
mengatakan bahwa ide-ide tidak lepas dari ide-ide yang lain. Dan puncak segala
ide adalah ide yang baik. Ide yang baik ini ibarat matahari yang menjadi
penerang segala sesuatu. Karenanya, ide yang baik berada di tempat yang paling
tinggi dan paling indah daripada ide-ide yang lain (Rahman, 2013:149 – 153). Aliran
Idealisme kelak berkembang menjadi aliran filsafat rasionalisme pada filsafat modern.
Kritik atas gagasan
Plato datang dari seorang murid yang dikaguminya, Aristoteles. Ia seorang murid
yang oleh sang guru dijuluki si akal karena kecerdasannya yang luar biasa dan
si kutu buku karena kerajinnya membaca buku. Aristoteles telah menjadi murid
Plato di Akademia Plato selama 20 tahun. Setelah Plato meninggal, Aristoteles
meninggalkan Athena dan mengembangkan pemikirannya di Assos di pesisir Asia
Kecil bersama sahabatnya, Hermeias. Aristoteles dikenal sebagai penulis yang
produktif, tulisannya ketat seperti karya ilmiah dan ensiklopedi. Aristoteles
juga dikenal sebagai organisator ulung. Ia mengklasifikasikan berbagai ilmu dan
mendirikan beberapa ilmu. Dapatlah diaktakan sejak Aristoteles inilah, ilmu
pengetahuan semakin jelas cabang-cabang dan fungsinya (Rahman, 2013: 168.
Aristoteles
menyampaikan kritiknya terhadap ide-ide Plato bahwa ide-ide tidak membantu
manusia mengenali benda, karena ide tidak terdapat di dalam benda. Baginya,
hakikat benda berada pada benda itu sendiri, bukan terletak pada ide-ide Plato.
Bagi Aristoteles, yang diangap ide oleh Plato sebenarnya adalah abstraksi
terhadap benda-benda yang diindera oleh manusia. Artinya, manusia memiliki
kemampuan mengabstraksi benda-benda yang diinderanya. Lebih jauh, manusia tidak
akan mampu mengabtraksi benda-benda jika ia belum pernah mengindera
benda-benda. Artinya, ide menjadi ada karena adanya benda yang merangsang ide
untuk muncul. Apabila benda tidak ada, maka ide tentang suatu benda tidak akan
pernah ada muncul. Pandangan Aristoteles ini dikenal sebagai aliran filfasat
realisme yang kemudian berkembang menjadi empirisisme dalam filsafat modern.
Referensi:
Rahman, Masykur Arif. 2013. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat. Jogjakarta: IRCiSoD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar