Jumat, 17 Oktober 2014

Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu pertemuan ke-5



MENGENAL SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT
(Bagian 1)
Tulisan ini diinsprirasi dari perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu Prof. DR.Marsigit,MA yang dilaksanakan pada Jumat, 10 Oktober 2014. Saya memandang apa yang disampaikan pada perkuliahan kali ini sangat luas dan dalam. Namun demikian saya menyimpulkan bahwa yang disampaikan Prof Marsigit berpijak pada perkembangan filsafat pada setiap episode jaman dan tokoh-tokoh yang menjadi peletak madzab pemikiran tersebut.

Filsafat, termasuk di dalamnya filsafat ilmu, memiliki objek meliputi “yang ada” dan “yang mungkin ada”.  Pada jaman Yunani kuno yang dikenal sebagai jaman filsuf awal, ada beberapa aliran kepercayaan yang berkembang tentang objek “yang ada”, yakni:
a.    Monoism: percaya pada satu hal
b.    Dualism: percaya pada dua hal
c.    Pluralism: percaya pada banyak hal
Pada filsafat awal di Yunani Kuno, para filsuf dalam melihat alam tidak lagi berpedoman pada keterangan mitos, legenda, atau agama tetapi murni kajian ilmiah dan rasional, sehingga terbuka untuk didiskusikan (Rahman, 2013:67). Filsuf awal yang dikenal pada masa Yunani Kuno ini antara lain Plato, Socrates dan Aristoteles. Kajian pada filsafat awal ini tidak hanya fokus pada alam, namun juga mengkaji manusia itu sendiri, yang meliputi kajian jiwa, pikiran, indra, logika, etika, dan sebagainya.
Objek filsafat “yang ada” dibedakan dalam dua pandangan yakni bersifat tetap dan bersifat berubah. Adalah Permendiasianisme yang memandang bahwa objek filsafat itu bersifat tetap. Aliran ini berpijak pada pemikiran filsuf Parmenides yang hidup pada jaman Yunani Kuno sekitar 540 – 470 SM. Menurut Parmenides bahwa pengalaman indrawi dalam kehidupan sehari-hari bersifat menipu dan semu belaka. Menurutnya, sesungguhnya “yang ada” sebagai realitas sejati berada di balik perubahan. Ia tetap, abadi, dan tidk berubah. Karenanya, saran Parmenides agar manusia tidak percaya pada penglihatan, namun percayalah pada pikiran (logos)  lantaran “yang ada” hanya dapat diketahui dengan pasti melalui pemikiran. Bagi Parmenides, gambaran yang tepat adalah gambaran yang sesuai dengan akal manusia. Baginya, ungkapan yang dipakai adalah “aku percaya kalau sudah memikirkannya” bukan ungkapan “aku percaya kalau sudah melihatnya. Bagi Parmenides, “yang ada” adalah yang dapat diketahui dan dipikirkan, sedangkan yang tidak ada tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan. Jadi menurut Parmenides, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diperoleh melalui akal budi. Parmenides dapat dikatakan sebagai peletak dasar cabang filsafat yang disebut metafisika atau ontology, yang meneyelidiki “yang ada” (Rahman, 2013:105-107).
Berbeda pandangan dengan Permenidesianisme adalah Heracleitosianisme. Aliran ini berpijak pada pemikiran filsuf Heracleitos yang hidup pada jaman Yunani Kuno sekitar 538 – 480 SM. Pokok pikiran Heracleitos yang terkenal adalah mengenai perubahan atau menjadi. Ia menganggap bahwa segala sesuatu tidak ada yang diam atau tetap, semuanya mengalir atau berubah. Dan karena segala sesuatu berubah maka perubahan itu identic dengan sesuatu yang baru sehingga yang permanen atau abadi ditolak (Rahman, 2013: 99).
Dalam menjelaskan tentang perubahan, Heraclitos memberi contoh dan menunjukkan bukti dengan air dan api. Tentang air, kata–katanya yang sangat terkenal adalah “engkau tidak dapat terjun ke sungai yang sama dua kali, karena air sungai itu selalu mengalir” (Ahmad Tafsir dalam Rahman, 2013:99). Sedangkan untuk api, ia menggunakan analogi yang sama denga air. Tidak ada nyala api yang sama ketika menyala. Menurut Heracleitos, dalam perubahan itu diikuti pertentangan atau perlawanan, namun hal ini tidak harus disesali atau dijauhi. Dalam pandangannya ini, pertentangan ini adalah prinsip keadilan. Bagi Heraclitos, jika tidak ada perang, tidak mungkin kita merasakan indahnya damai; jika tidak sakit, tidak mungkin kita merasakan nikmatnya sehat; bila tidak ada siang, tidak mungkin kita mearasakan gelapnya malam. Dalam melihat perubahan alam yang berlangsung teratur seperti perubahan musim panas dan musim dingin atau perubahan siang dan malam, Heracleitos menganggap hal itu terjadi karena adanya hukum yang mengatur perubahan tersebut. Heracleitos menyebut hukum ini dengan logos. Logos yang dapat diartikan rasio, akal, atau semacam wahyu inilah yang menguasai dan mengatur segala sesuatu, termasuk jiwa manusia. Logos ini tak ubahnya roh yang mengatur hidup seluruh makhluk (Asmoro Ahmadi dalam Rahman, 2013:101).
Objek filsafat “yang ada” dan “yang mungkin ada” ini juga menjadi telaah filsuf sepanjang masa. Salah satu filsuf besar sepanjang masa adalah Plato. Ia hidup sekitar 427 – 347 SM. Plato adalah suatu julukan saja, karena nama aslinya adalah Aristocles. Ia dijuluki Plato karena Aristocles ini memiliki dahi dan bahu yang lebar. Dan pada akhirnya, nama julukannya ini lebih cepat terkenal disbanding namanya sendiri. Plato Pandangan filsafatnya melahirkan aliran yang disebut Platonisme dan ada juga yang menyebutnya Idealisme. Titik berangkat seluruh pemikiran filsafat Plato adalah gagasannya tentang dunia ide-ide. Ide-ide disini berasal dari kata idea atau ideas dalam bahasa Yunani yang berarti visi atau kontemplasi. Bagi Plato, ide-ide merupakan asal-usul bagi segala sesuatu. Jadi bagi Plato, yang ada itu terletak dalam ide-ide. Misalnya segitiga. Menurut Plato, segitiga sebenarnya berada dalam dunia ide. Tentang satu, satu sebenarnya menurut Plato berada dalam dunia ide. Plato juga mengatakan bahwa ide-ide tidak lepas dari ide-ide yang lain. Dan puncak segala ide adalah ide yang baik. Ide yang baik ini ibarat matahari yang menjadi penerang segala sesuatu. Karenanya, ide yang baik berada di tempat yang paling tinggi dan paling indah daripada ide-ide yang lain (Rahman, 2013:149 – 153). Aliran Idealisme kelak berkembang menjadi aliran filsafat rasionalisme pada filsafat modern.
Kritik atas gagasan Plato datang dari seorang murid yang dikaguminya, Aristoteles. Ia seorang murid yang oleh sang guru dijuluki si akal karena kecerdasannya yang luar biasa dan si kutu buku karena kerajinnya membaca buku. Aristoteles telah menjadi murid Plato di Akademia Plato selama 20 tahun. Setelah Plato meninggal, Aristoteles meninggalkan Athena dan mengembangkan pemikirannya di Assos di pesisir Asia Kecil bersama sahabatnya, Hermeias. Aristoteles dikenal sebagai penulis yang produktif, tulisannya ketat seperti karya ilmiah dan ensiklopedi. Aristoteles juga dikenal sebagai organisator ulung. Ia mengklasifikasikan berbagai ilmu dan mendirikan beberapa ilmu. Dapatlah diaktakan sejak Aristoteles inilah, ilmu pengetahuan semakin jelas cabang-cabang dan fungsinya (Rahman, 2013: 168.
Aristoteles menyampaikan kritiknya terhadap ide-ide Plato bahwa ide-ide tidak membantu manusia mengenali benda, karena ide tidak terdapat di dalam benda. Baginya, hakikat benda berada pada benda itu sendiri, bukan terletak pada ide-ide Plato. Bagi Aristoteles, yang diangap ide oleh Plato sebenarnya adalah abstraksi terhadap benda-benda yang diindera oleh manusia. Artinya, manusia memiliki kemampuan mengabstraksi benda-benda yang diinderanya. Lebih jauh, manusia tidak akan mampu mengabtraksi benda-benda jika ia belum pernah mengindera benda-benda. Artinya, ide menjadi ada karena adanya benda yang merangsang ide untuk muncul. Apabila benda tidak ada, maka ide tentang suatu benda tidak akan pernah ada muncul. Pandangan Aristoteles ini dikenal sebagai aliran filfasat realisme yang kemudian berkembang menjadi empirisisme dalam filsafat modern.

Referensi:
Rahman, Masykur Arif. 2013. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat. Jogjakarta: IRCiSoD



Tidak ada komentar:

Posting Komentar