Kamis, 09 Oktober 2014

Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu pertemuan ke-4



Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu pertemuan ke-4 
(Jumat, 3 Oktober 2014)
Dosen Pengampu: Prof. DR. Marsigit,MA

Oleh: Ai Sadidah                   
NIM: 14709259013               
Kelas: PMat P2TK

Menembus Ruang dan Waktu dalam Dimensi Filsafat
Perkuliahan diawali dengan tes singkat berupa tes 50 soal yang harus dijawab dengan singkat dalam waktu yang ditentukan. Pesan dan esensi tes singkat adalah kesadaran untuk menembus ruang dan waktu yang meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Disinilah konteks berfilsafat sebagai olah pikir yang reflektif hadir. Berfilsafat itu meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Dikatakan berfilsafat ketika kita mampu merefleksikan pikiran dan pengalaman kita. Jangankan manusia, batu saja menembus ruang dan waktu. Hanya saja, batu tidak menyadari dan memikirkan dirinya.
Dikarenakan manusia diberi bekal oleh sang pencipta berupa fatal dan vital (berikhtiyar dan takdir), lengkap dengan segala akibatnya insting, intuisi sampai kemampuan berfikir normal, kemampuan numerik sampai pengetahuan yang canggih (sophisticated) maka manusia mampu menembus ruang dan waktu dengan kesadaran. Maka salah satu definisi hidup dalam filsafat antara lain bahwa  hidup adalah menembus ruang dan wakyu. Maka hidup yang berhasil adalah keterampilan dan keberhasilan menembus ruang dan waktu. Karena manusia berteknologi dan berbudaya maka manusia menembus ruang dan waktu dengan penciptaan alat transportasi sehingga memungkinkan seseorang berpindah tempat dengan alat transportasi tersebut dan menembus ruang dan waktu yang berbeda. Kata-kata adalah ruang kesadaran. Pakaian adalah ruang kesadaran. Masing-masing kita menciptakan ruang dan waktu yang berbeda. Namun demikian tidak mudah menembus ruang dan waktu. Yang menembus ruang dan waktu adalah yang ada dan mungkin ada di dalam diri manusia. Pikiran menembus ruang dan waktu. Secara ontology kita mungkin saja memikirka segala yang ada dan yang mungkin ada. Namun secara aksiologi (etik dan estetika) dibatasi ruang dan waktu. Ruang dan waktu sekaligus memberikan kesempatan sekaligus membatasi. Keterbatasan memberikan kebermaknaan akan hidup manusia, sehingga manusia bisa saling menghormati antara sesamanya. Dengan kesadaran akan keterbatasan yang dimiliki, manusia memahami dirinya menjadi bermakna. Mengetahui cara menembus ruang dan waktu itulah adat atau tata caranya.
Dalam filsafat kita mengetahui adanya empat dimensi penting untuk mengenali setiap yang ada dan yang mungkin ada, yaitu dimensi material, formal, normatif dan spiritual.  Contoh batu. Materialnya batu kalau dipegang itu batu pasir, batu kerikil. Batu ketika sudah dipakai sebagai pembatas kebun maka fungsinya sudah menjadi hukum, maka batu berfungsi formal. Batu yang dipakai orang Yunani untuk menghitung jarak (batu kalkuli), batu dipakai untuk bertasbih. Pada level normatif, batu dipake untuk menghitung. Pada level spiritual, batu itu menjadi alat yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya menjadi batu tawajuh atau batu tasbih atau batu pelempar setan dalam ritual jumrah dalam haji. Dimensi-dimensi ini memberikan kegunaan dalam rangka mengintensifkan suatu istilah, makna atau bahasa. Keempat dimensi tadi juga masih berdimensi. Material berdimensi, formal berdimensi, normatif berdimensi dan spiritual juga berdimensi. Dimensi yang satu dengan yang lain saling merentang. Dimensi material meliputi spiritual, dimensi formal meliputi dimensi material dan spiritual, dimensi normatif meliputi normal dan spiritual, dan dimensi spiritual meliputi semuanya yaitu material, formal dan normatif. Diantara ruang formal dan normatif ada ruang penelitian, ruang tesis, ataupun ruang disertasi.  
Struktur dunia atas empat dimensi (material, formal, normatif, spiritual) tadi memungkinkan manusia mengenali dunianya. Dari situlah manusia membangun filsafat hidupnya. Kita mau membangun filsafat artinya kita mau membangun dunia. Hal ini bisa berangkat dimulai dari satu hal yaitu yang ada atau yang mungkin ada. Kita tinggal membangun tesis, antithesis dan sintetisnya.
Dalam pandangan yang sama, maka kita menyimpulkan secara filosofis maka dunia terstruktur mulai dari material, formal, normatif dan spiritual. Struktur itu kalau dibongkar ternyata isinya unlimited (tak terhingga), yang isinya meliputi yang ada dan mungkin ada. Manusia pada satu sisi memiliki keyakinan, dan pada satu sisi yang lain memiliki kebutuhan baik kebutuhan pemikiran maupun kebutuhan hati dan pengalaman. Orang-orang yang hanya mengandalkan pikiran tapi belum mendapatkan petunjuk, ketiak dia ingin ketemu tuhannya maka dia melakukannya dengan cara diskusi dan pada akhirnya tidak pernah ketemu. Ketemu dengan Imam Alghazaly, orang seperti itu disuruh sholat kalau ingin ketemu tuhannya dan tidak bisa kalau hanya mengandalkan pikiran, Insyaalloh kalau diijinkan maka dia akan ketemu Tuhannya. Filsafat barat dan filsafat Islam ditambahkan menjadi epistemology gerak atau epistemology kerja. Sholat tidak bisa hanya didiskusikan dan diandaikan tapi harus dikerjakan. Ada hukumnya. Ada aturannya dan dikerjakan sesuai waktunya (namanya istiqamah). Dikerjakan terus-menerus dengan ikhlas. Adanya kebutuhan manusia dengan Tuhannya sudah melahirkan berbagai cara yang diyakini merupakan personifikasi manusia berkomunikasi dengan Tuhannya. Maka muncullah berbagai keyakinan dalam personifikasi berupa dewa dalam tradisi Hindu atau Budha. Dalam konteks ini, terciptalah ruang dan waktu yang diciptakan manusia untuk memudahkan komunikasi dirinya dengan Tuhannya, yang dia yakini keberadaannya namun secara material tidak mudah untuk menghadirkannya.
Dengan analogi yang sama, kita bisa memaklumi kehadiran pewayangan dalam budaya Jawa sebagai penciptaan ruang dan waktu yang memudahkan manusia memahami berbagai ilmu dalam kehidupan melalui personifikasi tokoh-tokoh yang hadir dalam cerita pewayangan tersebut. Personifikasi ini muncul karena keterbatasan manusia tadi yang terikat pada ruang dan waktu.
Dalam perspektif filsafat, penciptaan ruang dan waktu dilakukan melalui pikiran masing-masing manusia. Hal ini dilakukan karena ada kebutuhan dirinya berkomunikasi dengan yang di luar dirinya maupun dengan yang ada pada dirinya. Kemunculan ‘dewa’ bisa dipahami sebagai urusan manusia untuk mengkomunikasikan yang jauh di luar pikiran manusia yang transenden namun tidak mampu membebaskan dirinya dari keterbatasan ruang dan waktu yang dimilikinya.  Kejadiannya menjadi asing, unik tapi karena dibiasakan dan kita tidak mengerti jadilah mitos. Bagaimana para dewa berunding di sana kemudian perilaku para dewa menjadi pola kehidupan manusia di dunia. Misalnya cinta. Cintanya dewa Siwa kepada Parwati, romantikanya menjadi pola bagi kehidupan yang diikuti manusia. Itulah supaya memenuhi kebutuhan manusia untuk memikirkannya dengan personifikasi seperti itu. Filsafat merupakan wilayah yang abstrak sekali. Maka wayang menjadi personifikasi ilmu menjadi wahyu. Wayang telah hadir atas penciptaan ruang dan waktu manusia untuk memahami sesuatu yang sulit dijangkau tanpa personifikasi wayang.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar