Senin, 27 Oktober 2014

Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu pertemuan ke-7



Mengenali Mitos dalam Filsafat
Tulisan berikut diinspirasi dari perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu Prof. DR. Marsigit, MA yang dilaksanakan pada hari Jumat, 24 Oktober 2014 di ruang 106A Gedung Lama Pasca Sarjana UNY yang berlangsung dari pukul 15.40 sampai 17.20 WIB.
Segala sesuatu memiliki dimensi dan terstruktur sesuai dengan ruang dan waktunya. Mitos dalam pikiran orang filsafat itu bergeser, ada perbedaan makna dengan mitos dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, kita tidak bisa memaksakan pemahaman kita kepada orang awam. Kita senantiasa harus bisa menyesuaikan dimana dan dengan siapa kita berhadapan. Dalam filsafat, potensi negatif analog dengan setan. Pikiran negatif juga analog dengan setan. Sementara manusia juga tidak bisa terlepas dari pikiran negatif. Ketika kita berada tidak sesuai konteks ruang dan waktu, kita menjadi terasing dari kehidupan orang lain. Timbullah ketidak cocokkan.
Begitu juga mitos. Mitos orang awam adalah sesuatu yang negatif, yang menakutkan, yang jauh di sana sementara yang dialami sehari-hari bukan mitos. Ada juga yang mengidentikkan mitos itu dengan hantu atau sejenisnya, atau bohong-bohongan atau tipu-tipuan dst.  Tetapi yang kita kembangkan pemikiran kita ini adalah mitos itu kalau kita tidak bisa mengertinya, kalau kita tidak mampu menerangkannya. Padahal yang tidak mampu mengerti dan menerangkannya itu banyak meliputi yang spiritual dan keyakinan. Apakah kemudian spiritual kita katakan sebagai mitos? Ya tentu tidak bisa. Masa sholat mitos, percaya pada nabi mitos. Ini salah besar. Tidak cocok. Kalau begitu ternyata mitos ini bukan berkaitan dengan suatu keyakinan, karena kalau masuk keyakinan menjadi keliru, keyakinan dalam arti spiritual. jadi kalau begitu keyakinan apa? Keyakinan dalam arti yang dibenarkan lewat pikiran kita tapi yang bisa diikhtiyarkan artinya untuk dapat dimengerti. Misalnya pelangi. Orang Yunani kuno menganggap itu jembatan para bidadari turun dari kayangan ke bumi. Ternyata setelah diteliti, gampang kita bikin pelangi. Taruh cermin di dalam air lalu dikenakan sinar matahari di luar, pantulkan ke tembok. Jadilah pelangi. Ternyata secara fisika, pelangi ini sederhana, hanya penguraian sinar atau sinar putih yang kita lihat itu adalah sebenarnya gabungan berbagai macam sinar.
Kalau pengetahuan kita khususnya yang berkaitan dengan penalaran kemudian kita tidak mengerti atau tidak mau mengerti padahal sebenarnya bisa dimengerti, maka yang demikian itu dapat dikategorikan sebagai mitos. Maka kalau diturunkan ke dunia anak-anak, secara filsafat bisa dikatakan, artinya banyak sekali dunia anak-anak itu yang dia lakukan tapi dia tidak menegrti. Tapi itu penting dalam kerangka untuk meletakkan dasar-dasar pembelajaran membangun hidup di waktu yang akan datang. Dan tidak semuanya tidak harus dimengerti, kadang-kadang juga pengertian yang tertunda. Maka secara filsafat, sebagian anak-anak kita belajar melalui mitos. Tapi kalau sudah berada di tengah keluarga tidak bisa kita mengatakan ayo anak-anak kita belajar melalui metode mitos. Akhirnya salah juga. Tidak sesuai ruang dan waktunya. Artinya kita berfilsafat tidak pada ruang dan waktunya, tidak sopan lagi, tidak cocok lagi. Itulah bahayanya berfilsafat jika tidak cocok ruang dan waktunya, berfilsafat hanya sepenggal dan tidak utuh dsb.
Filsafat itu terikat pada ruang dan waktu. Maka diperlukan keterampilan menembus ruang dan waktu agar tidak menjadi disalahartikan atau dianggap sesat.
Mitos di bangku kuliah, mitos di kehidupan sehari-hari, mitos di dalam keluarga berbeda-beda tingkatannya. Karena itulah setiap sesuatu memerlukan kaidah agar sesuai dengan ruang dan waktunya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar