Mengenali
Mitos dalam Filsafat
Tulisan berikut
diinspirasi dari perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu Prof. DR. Marsigit, MA
yang dilaksanakan pada hari Jumat, 24 Oktober 2014 di ruang 106A Gedung Lama
Pasca Sarjana UNY yang berlangsung dari pukul 15.40 sampai 17.20 WIB.
Segala sesuatu memiliki
dimensi dan terstruktur sesuai dengan ruang dan waktunya. Mitos dalam pikiran
orang filsafat itu bergeser, ada perbedaan makna dengan mitos dalam kehidupan
sehari-hari. Karena itu, kita tidak bisa memaksakan pemahaman kita kepada orang
awam. Kita senantiasa harus bisa menyesuaikan dimana dan dengan siapa kita
berhadapan. Dalam filsafat, potensi negatif analog dengan setan. Pikiran
negatif juga analog dengan setan. Sementara manusia juga tidak bisa terlepas
dari pikiran negatif. Ketika kita berada tidak sesuai konteks ruang dan waktu,
kita menjadi terasing dari kehidupan orang lain. Timbullah ketidak cocokkan.
Begitu juga mitos.
Mitos orang awam adalah sesuatu yang negatif, yang menakutkan, yang jauh di
sana sementara yang dialami sehari-hari bukan mitos. Ada juga yang
mengidentikkan mitos itu dengan hantu atau sejenisnya, atau bohong-bohongan
atau tipu-tipuan dst. Tetapi yang kita
kembangkan pemikiran kita ini adalah mitos itu kalau kita tidak bisa
mengertinya, kalau kita tidak mampu menerangkannya. Padahal yang tidak mampu
mengerti dan menerangkannya itu banyak meliputi yang spiritual dan keyakinan.
Apakah kemudian spiritual kita katakan sebagai mitos? Ya tentu tidak bisa. Masa
sholat mitos, percaya pada nabi mitos. Ini salah besar. Tidak cocok. Kalau
begitu ternyata mitos ini bukan berkaitan dengan suatu keyakinan, karena kalau
masuk keyakinan menjadi keliru, keyakinan dalam arti spiritual. jadi kalau
begitu keyakinan apa? Keyakinan dalam arti yang dibenarkan lewat pikiran kita
tapi yang bisa diikhtiyarkan artinya untuk dapat dimengerti. Misalnya pelangi.
Orang Yunani kuno menganggap itu jembatan para bidadari turun dari kayangan ke
bumi. Ternyata setelah diteliti, gampang kita bikin pelangi. Taruh cermin di
dalam air lalu dikenakan sinar matahari di luar, pantulkan ke tembok. Jadilah
pelangi. Ternyata secara fisika, pelangi ini sederhana, hanya penguraian sinar
atau sinar putih yang kita lihat itu adalah sebenarnya gabungan berbagai macam
sinar.
Kalau pengetahuan kita
khususnya yang berkaitan dengan penalaran kemudian kita tidak mengerti atau
tidak mau mengerti padahal sebenarnya bisa dimengerti, maka yang demikian itu dapat
dikategorikan sebagai mitos. Maka kalau diturunkan ke dunia anak-anak, secara
filsafat bisa dikatakan, artinya banyak sekali dunia anak-anak itu yang dia
lakukan tapi dia tidak menegrti. Tapi itu penting dalam kerangka untuk meletakkan
dasar-dasar pembelajaran membangun hidup di waktu yang akan datang. Dan tidak
semuanya tidak harus dimengerti, kadang-kadang juga pengertian yang tertunda.
Maka secara filsafat, sebagian anak-anak kita belajar melalui mitos. Tapi kalau
sudah berada di tengah keluarga tidak bisa kita mengatakan ayo anak-anak kita
belajar melalui metode mitos. Akhirnya salah juga. Tidak sesuai ruang dan
waktunya. Artinya kita berfilsafat tidak pada ruang dan waktunya, tidak sopan
lagi, tidak cocok lagi. Itulah bahayanya berfilsafat jika tidak cocok ruang dan
waktunya, berfilsafat hanya sepenggal dan tidak utuh dsb.
Filsafat itu terikat
pada ruang dan waktu. Maka diperlukan keterampilan menembus ruang dan waktu
agar tidak menjadi disalahartikan atau dianggap sesat.
Mitos di bangku kuliah, mitos di
kehidupan sehari-hari, mitos di dalam keluarga berbeda-beda tingkatannya.
Karena itulah setiap sesuatu memerlukan kaidah agar sesuai dengan ruang dan
waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar